Jumat, 06 Maret 2015

Arin-Fania (Untuk sahabat tergila di dunia)

Dari luar pagar Arin sudah membunyikan klakson berulang-ulang sambil sesekali menengok jam tangan yang dipakainya. Hampir pukul tujuh pagi itu tapi belum ada tanda-tanda Fania akan keluar. Arin sudah menggerutu tanpa henti namun terus duduk di atas motor metik putihnya. Sampai akhirnya dengan tergesa-gesa Fania keluar dan mengembangkan senyum lebarnya.
Pagar sekolah menengah itu sebentar lagi akan tertutup namun dengan sigap, Arin menarik gas dan berhasil lolos dari guru yang sedang bertugas pagi itu. Mereka sampai di parkiran dan kemudian menaruh helm. Wajah Arin masih saja menggambarkan kekesalan yang luar biasa. Fania yang paham betul sahabatnya itu langsung menggandeng lengan Arin dan dengan manjanya bergelayut memasang tampang memelas keahliannya.
“Apa sih?” kata Arin malas. Rupanya Fania belum berhasil menarik simpatik Arin yang setiap pagi selalu saja nyaris terlambat karenanya.
“Iya, iya, aku yang salah. Jangan marah lagi dong,” ujar Fania manja.
“Ya, emang kamu yang salah kan? Tiap hari telat. Tidur jam berapa sih?” balas Arin. Fania yang putus asa akhirnya berhenti dan seketika itu memasang tampang tak berdosanya yang membuat Arin tidak pernah bisa marah lebih dari 3 menit. “Maaf,” katanya dengan mata yang sudah digenangi air yang sepertinya sebentar lagi akan keluar semua.
Arin berbalik melihat sahabatnya itu. Ia selalu saja luluh setelah melihat Fania dengan ekspresi seperti itu. Dengan perasaan yang masih setengah kesal, Arin menarik tangan Fania dan mereka pun berjalan menuju kelas. Suasana hati keduanya pun kembali seperti biasanya. Seperti Fania yang tidak bisa jika melihat Arin kesal padanya, Arin pun tidak bisa lagi lepas kemana-mana tanpa Fania. Mereka telah menghabiskan waktu bertahun-tahun dan menjadi sedekat hari ini.
Dimana ada Arin, tentu pula ada Fania. Walau selera mereka berdua selalu berbeda dalam berbagai hal seperti musik, gaya berpakaian dan pendapat, tapi soal makanan mereka senada seirama. Dari mulai sate ayam, bakso, jus, dan banyak lagi. Hanya saja, jika Arin alergi udang, maka Fania alergi telur. Namun satu hal yang mereka tidak pernah lewati ketika sabtu sore adalah menghabiskan waktu di bukit yang tidak jauh dari rumah mereka untuk menunggu matahari terbenam.
Begitulah Arin dan Fania. Mereka telah menjadi sahabat bahkan seperti keluarga sendiri. Orang tua mereka pun begitu. Namun, berbeda jika orang tua Fania selalu ada di rumah, orang tua Arin tidak. Mereka bekerja ke luar negeri hanya sebulan sekali bahkan sampai enam bulan sekali Arin dapat bertemu orang tuanya. Sehingga orang tua Fania sudah seperti orang tua kedua bagi Arin. Mereka pun sudah menganggap Arin sebegai anak sendiri. Jadi apapun yang diberikan orang tua Fania kepadanya, diberikan pula kepada Arin.
Selama ini tidak ada satupun masalah yang menjadi besar diatara mereka. Kalau pun ada, pada akhirnya masalah itulah yang menjadikan mereka jauh lebih dekat dan jauh lebih saling memahami. Meskipun watak keduanya berbeda, mereka tetap berusaha untuk tidak terbawa emosi. Sampai suatu hari, waktu membawa mereka pada sebuah perjalanan panjang yang begitu melelahkan. Perjalanan yang tidak pernah terpikirkan keduanya. Dan perjalanan itu pun dimulai ketika mereka kedatangan anak baru.
Anak baru itu pun cepat sekali menarik perhatian anak-anak sekolah terutama teman-teman kelasnya. Fania yang baru mendengar kabar ini langsung berlari menuju toilet menghampiri Arin yang dari tadi belum juga kembali. Ia mengetuk-negtuk pintu toilet yang masih tertutup itu.
“Rin..? Kamu di dalam Rin?” tanya Fania tak sabaran sambil terus tangan mungilnya mengetuk-ngetukkan pintu. Sesaat kemudia Arin keluar sambil memegangi perutnya.
“Kenapa sih Fan? Rusuh banget,” gerutu Arin.
“Eh, ada anak baru!” kata Fania yang langsung menggandeng Arin berjalan. “Cakep loh, Rin. Orangnya tinggi, putih, rapih, dan katanya pintar juga,” tutur Fania tanpa henti.
“Ibas!!” seru Arin tiba-tiba menghentikan penjelasan Fania tentang anak baru. “Jadi sekolah disini?” seseorang yang dipanggil Ibas oleh Arin itu kemudian tersenyum dan berjalan menghampiri Arin dan Fania. Fania begitu terkejut mengetahui bahwa yang sedang berjalan menuju kearah mereka itu adalah anak baru yang baru saja diceritakannya kepada Arin. Dan yang lebih mengejutkannya lagi adalah Arin lebih dulu mengetahuinya dan juga mengenalnya. “Yang ini kan?” bisik Arin menyikut Fania pelan. Fania hanya diam. Ia begitu gugup nampaknya.
“Hey, Rin!” sapanya sambil mengulurkan tangan untuk berjabat. Arin meraih tangan Ibas dan mereka mengobrol seperti akrab sekali.
“Oh, iya, nih kenalin,” kata Arin sambil memberikan kode untuk berkenalan kepada Ibas.
“Ibas,” sambil mengulurkan tangannya.
“Fania,” jawab Fania lembut.
“Kami berdua sama-sama anak komunitas designer, jadi ketemunya di komunitas internet. Udah lama banget,” jelas Arin. Fania yang masih nampak bingung hanya senyam-senyum mendengar penjeasan Arin itu.
Sejak saat itu mereka bertiga menjadi lebih akrab. Sering pula mereka mengerjakan tugas bergilir dari rumah Arin, Fania lalu rumah Ibas. Begitu seterusnya. Fania pun memulai aksinya untuk mendapatkan Ibas. Daya pikat Fania memang tidak pernah ada duanya. Denga hanya sekali lirik dan dalam waktu lima detik, orang yang melihatnya pun lansung bisa jatuh hati dan mengejar-ngejarnya. Namun hanya ada beberapa saja yang berhasil merebut hatinya. Selebihnya hanya berkahir begitu saja entah karena apa.
Berbeda dengan Fania, Arin sulit sekali menarik perhatian lawan jenisnya. Makanya sampai ia saat ini pun ia belum memiliki pasangan layaknya teman-temannya. Ia selalu saja mengikuti Fania. Beberapa orang berpikir bahwa Arin tidak mungkin bisa mendapatkan pasangan jika masih bersama Fania kaena tidak akan ada yang meiliriknya satupun. Namun hal itu tidak begitu membuat Arin memikirkannya. Ia terus menggandeng Fania kemana-mana.
Sama halnya dengan Arin, Fania juga tidak begitu memikirkan hal tersebut. Ia hanya berpikir bahwa mungkin belum waktunya saja sahabatnya itu bertemu dengan seseorang. Walaupun sering kali acara perjodohan yang dilakukannya gagal dengan alasan yang akan dikenalkannya kepada Arin tiba-tiba saja mendekatinya dengan maksud lain. Namun Fania masih tersu mencoba membantu sahabatnya itu menemukan seseorang yang juga dicarinya selama ini.
Sore itu Fania pulang lebih dulu karena dijemput mamahnya. Sementara Arin masih menghadiri rapat OSIS untuk sebuah kegiatan sosial yang biasanya setiap tiga bulan sekali diadakan. Kebetulan setelah pindah, Ibas juga langsung bergabung dalam organisasi sekolah tersebut. Mereka duduk berdampingan sambil berfokus mendengarkan ketua OSIS menjelaskan tentang konsep kegiatan. Melihat gerak gerik Arin yang tampak gelisah membuat Ibas tidak bisa lagi menunggu rapat selesai untuk bertanya.
“Kamu kenapa?”
Arin yang kaget mendengar seseorang berbisik tepat ditelinganya seketika berbalik dan sontak mata mereka langsung bertemu. Arin terdiam begitupun Ibas. Mereka begitu terkejut dan salah tingkah. Arin langsung menggeleng dan mengalihkan kembali pandangannya dan perhatiannya. Ibas hanya mengaruk-garuk belakang kepalanya.
Rapat akhirnya selesai dan mereka segera keluar dari ruangan. Melihat Arin yang buru-buru, Ibas langsung menarik tangannya dan menahannya beberapa saat.
“Kamu kelihatan pucat, Rin,” katanya lagi.
“Gak apa-apa Ibas,” jawab Arin pelan. Namun benar bahwa pucat di wajah Arin tidak bisa disembunyikannya. “Aku pulang duluan yah,” tutup Arin yang mencoba melepaskan tangan Ibas.
“Biar aku antar pulang, Rin,” tambah Ibas lagi. Karena sudah hafal dengan kondisinya sendiri bahwa saat ini ia sedang tidak dalam kondisi sehat, Arin pun mengiyakan ajakan Ibas. Mereka akhirnya melaju dengan motor ninja merah milik Ibas menuju rumah Arin. Arin semakin lemah ketika sampai di depan gerbang. Melihat kondisi Arin, Ibas pun memapahnya sampai masuk dan membantu membaringkannya ke dalam kamar.
Setelah beberapa saat, dua orang asisten rumah tangga pun langsung menghampiri Arin dan memeriksanya.  Ibas menghamburkan pandangannya ke dalam ruang kamar yang serba putih milik Arin tersebut. Ia kemudian pamit untuk pulang karena merasa Arin sudah lebih aman dengan pengasuhnya yang bernama bu Tatik.
Tidak lama kemudian dengan nada cemas dari luar pintu Fania masuk dan langsung memeriksa keadaan Arin dususul mamahnya yang baru juga sampai. Melihat Fania yang sudah berlinang air mata, Arin hanya tersenyum lemas. Ia sangat hafal bahwa sebentar lagi sahabatnya itu akan menangis sekencang-kencangnya jika ia tidak hendak bangun dan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Seperti itulah Fania. Dan karena itulah Arin tidak pernah merasa kehilangan kasih sayang.
Hari-hari berlalu, Arin semakin menyadari perasaan anehnya setiap kali berhadapan langsung dengan Ibas. Entahlah, dadanya seketika sesak setiap kali dengan tidak sengaja mereka berpas-pasan atau ketika Ibas tersenyum mengelus-elus rambutnya. Apalagi ketika Ibas selalu memberikan perhatian-perehatian kecil seperti menanyai keadaannya, mengantarnya pulang setelah rapat, bahkan mengajaknya berjalan-jalan terlebih dahulu sebelum mereka sampai di rumah Arin.
Perasaan minder Arin terhadap Fania pun sedikit terobati dengan hadirnya Ibas yang selalu memilih bersamanya dibanding mengiyakan ajakan Fania. Untuk pertama kalinya ada seseorang yang hanya melihatnya saja. Dan Arin benar-benar tidak melewatkan kesempatan itu. ia juga mencoba menunjukkan perhatian-perhatian kecilnya terhadap Ibas.
Rona bahagia di wajah Arin ternyata cepat sekali tertangkap oleh Fania. Dengan ekspresi mencurigakan dan disertai banyak tanda tanya yang sudah berjajar di kepalanya, Fania langsung menanyai Arin ketika mereka sedang menunggu matahari tenggelam sore itu. Kening Arin langsung berkerut melihat gelagat Fania.
“Ayo jujur!” goda Fania. “Ada yang gak kamu certain kan?”
“Apa sih, Fan?” jawab Arin yang terus memandangi langit sore dengan warna jingga itu.
“Siapa? Gimana orangnya?”  tanya Fania terus sambil menggoyang-goyangkan lengan Arin yang berada di sebelahnya. “Siapa, siapa, siapa?”
            Mendengar suara Fania yang berisik dan melengking itu, Arin langsung bangun dan duduk dengan menopangkan badannya pada kedua tangaannya ke belakang. “Tunggu yah, tunggu sebentar lagi,” ujar Arin pelan. Fania yang terkejut langsung mengikuti Arin bangun. “Sekarang belum waktunya.”
            Percakapan yang masih menggantug di bukit tersebut membuat Fania sangat penasaran. Mengingat bahwa Arin hanya dekat dengannya dan Ibas, Fania langsung menghubungi Ibas. Namun bukannya menanyakan apa yang ada di kepalanya tentang Arin, Fania malah larut dalam percakapan yang menyenangkan dengan Ibas. Berjam-jam sampai akhirnya Fania memutuskan untuk tidur lebih dulu.
            “Semalam bergadang lagi?” tanya Arin sambil mengunyah roti kejunya. Fania hanya mengangguk lemas. Beberapa kali ia menguap dan akhirnya tertidur di meja kantin. Arin hanya menggeleng melihat tingkah sahabatnya itu. Entah apa lagi yang dikerjakannya. Telusuknya dalam hati.
            Malam-malam berlalu dan komunikasi antara Fania dan Ibas semakin akrab. Mereka masuk dalam percakapan yang sangat serius tentang masa lalu dan lain sebagainya. Rona bahagia itu pun tergambar  jelas di wajah Fania yang tiap hari sibuk dengan telepon genggamnya walaupun di sekolah. Arin yang menangkap gelagat aneh sahabatnya ini langsung menanyai cepat tanpa basa-basi.
            “Kali ini yang mana, Fan?”
            “Kayanya kita akan sama-sama saling ngenalin pasangat kita deh,” jawab Fania tersipu.
            “Serius?” tanya Arin yang disambut anggukan Fania yang cepat. Mereka pun saling berpelukan meluapkan kegembiraannya.
            Sudah biasa jika Fania harus pulang lebih dulu di rabu sore karena Arin harus mengikuti rapat OSIS. Disela-sela rapat, Ibas memberikan secarik kertas dan menyodorkannya pelan.
            “Makan, yuk!” tulisnya. Arin berbalik dan mengangguk sembari tersenyum menahan gemuruh kebahagiaan yang seperti berlomba hendak keluar dari dalam dadanya.
            Akhirnya rapat pun selesai dan mereka pun berlalu menjelajahi kota mencari tempat yang belum mereka kunjungi untuk sekedar mengisi ruang hampa di dalam perut. Dan setelah berputar-putar, tempat yang dituju pun sudah di depan mata. Sambil menunggu pesanan mereka datang, obrolan pun dimulai dengan sangat nyaman. Mereka tertawa, serius, lalu tertawa lagi. Seperti itu sampai mereka tidak menyadari telah menghabiskan makanan yang disajikan. Mereka saling menatap dan tertawa lepas.
            “Kalian dekat banget yah?” tanya Ibas tiba-tiba. Arin hanya diam mendengar pertanyaan Ibas itu. “Iya, kamu sama Fania. Sudah berapa lama?”
            “Udah lama banget, Bas. Sejak SD kelas 2 sih lebih tepatnya,” jawab Arin sembari menghaduk-adukkan minumannya. “Orang tua aku tuh sibuk, dan saat penerimaan rapor aku hanya sama pengasuhku, bu Tatik. Aku ngambek dan tiba-tiba ada yang meluk aku dari belakang. Ternyatanya mamah Fania,” jelas Arin sambil berkaca-kaca.
            “Wah, kaya di sinetron-sinetron yah,” Ibas terkekeh. Lamunan Arin pun tentang masa-masa bahagianya bersama Fania dan keluarga pun buyar. “Fania itu anaknya gimana?” sambungnya lagi.
            “Fania? Dia manja banget, cengeng banget, tapi baiknya juga baik banget. Aku beruntung aja bisa jadi sahabatnya,” tutur Arin. “Dengan pesonanya yang luar biasa itu, dia bisa bikin orang klepek-klepek, tapi sebenarnya hatinya juga rapuh.”
            “Rapuh?”
            Arin mengangguk pelan. “Kamu juga nanti akan tahu kalau sudah lama kenal. Dan kalau sudah lama kenal, kamu pasti nemuin alasan gak bisa lepas dia dalam hidup kamu,” tutup Arin. Nampaknya memang Arin sudah mengenal jauh sosok Fania. Ia menceritakan semua hal tentang Fania tanpa komando Ibas. Ibas pun mendengarkan tanpa lelah. Begitulah Arin. Setiap ditanya tentang Fania, maka waktu 24 jam pun terasa kurang baginya untuk mendeskripsikan sosok Fania, sahabat yang seperti malaikat baginya.
            Sejak makan malam itu, mereka pun lebih sering menghabiskan waktu berdua ketika rapat selesai. Sampai Fania merasa bahwa waktu Arin untuknya pun berkurang. Denga boneka teddy bearnya yang besar, ia masuk ke kamar Arin dan bermaksud menanyakan alasannya. Namun, ia terkejut melihat Arin tengah berkemas.
            “Loh, ada apa nih?” tanya Fania terkejut dan langsung menghampiri Arin.
            “Gak ada apa-apa barbieku,” jawab Arin santai sambil terus mengepak baju-bajunya masuk ke dalam koper. “Aku jadi utusan OSIS ke Bandung untuk pertukaran pelajar disana. Kamu baik-bik disini yah,” goda Arin.
            “Kamu kok baru bilang sekarang? Terus kenapa mau? Terus  aku gimana? Kalo ada yang jahat, nanti yang bantuin aku siapa?” Fania terus saja bertanya.
            “Maaf  deh, aku sibuk banget. Kamu kan juga lagi sibuk kemarin untuk persiapan lomba balet kan?” jawab Arin. “Kalau ada yang jahatin kamu, kamu videoin aja terus kirim ke aku, pas nanti pulang lihat aja,” tambah Arin menghibur. Mata Fania yang sudah menahan genangan air yang akan segera jatuh itu meluluhkan Arin. Arin langsung memeluk sahabatnya itu. “Dasar cengeng,” goda Arin.
            Hari-hari tanpa Arin benar-benar membosankan bagi Fania. Ia tampak murung dan hanya duduk diam di kelas. Melihat hal itu, Ibas langsung mengambil inisiatif untuk menghibur. Tanpa persetujuan Fania, Ibas langsung saja menarik tangannya untuk keluar. Fania yang terkejut langsung melepaskan tangan Ibas.
            “Kamu mau ngapain?”
            “Mau ngajak kamu main,” jawab Ibas sambil terkekeh. “Udah, ayo!”
            Tiga hari tanpa Arin, Ibas berubah menjadi sosok yang sangat membantu Fania melakukan banyak hal yang biasanya dilakukan Arin untuknya. Mereka jauh lebih akrab. Bahkan setelah bersama sepanjang hari di sekolah, mereka pun masih berbincang-bincang lewat telepon berjam-jam. Sesekali Ibas mengajak Fania makan malam atau sekedar menghabiskna waktu berdua.
            “Café nya bagus, Bas. Udah sering kesini yah?” tanya Fania sambil memperbaiki posisi duduknya. Ibas hanya tersenyum sambil memberi kode kepada pelayan untuk memberikan mereka menu. Sembari menunggu pesanan datang, mereka pun larut dalam obrolan yang tiada habisnya. Sampai tiba-tiba Fania teringat lagi kepada Arin yang akhir-akhir ini tidak bisa dihubungi.
            “Ada apa Fan?” tanya Ibas yang bingung melihat Fania mendadak diam.
            “Aku rindu Arin. Dia lagi apa yah?”
            “Paling dia lagi sibuk menyesuaikan diri di sana. Gak usah khawatir. Kamu kaya gak kenal Arin aja,” hibur Ibas. Lamunan Fania pun buyar. Begitu pula rasa khawatirnya. Memang benar bahwa Arin bisa menjaga dirinya jauh lebih baik disana. “Kalian bisa sedekat ini karena apa, Fan?” tanya Ibas basa-basi.
            Fania mengerutkan keningnya terkejut dengan pertanyaan Ibas itu. namun seperti yang dilakukan Arin, Fania pun langsung bercerita tanpa henti tentang bagaimana ia bisa berkenalan dengan Arin dan menjadi seperti kakak perempuan baginya yang menjaga dan memanjakannya. Suasana hati Fania mendadak berubah menjadi lebih bahagia ketika bercerita tentang Arin. Banyak sekali yang membuatnya kagum, terutama ketika Arin harus banyak mengalah deminya. Arin menurutnya adalah ibu peri yang dititipkan Tuhan untuknya.
            Dengan seksama Ibas mendengarkan cerita Fania. Namun pandangan Ibas berhenti di mata Fania. Fania yang baru menyadari itu langsung terdiam. Ia menebak-nebak apa yang dipikirkan Ibas.
            “Bas?” tanya Fania mencoba membuyarkan lamunan Ibas. “Ada yang salah?” Ibas hanya menggeleng sambil tersipu. Tiba-tiba ia menjadi salah tingkah dan mengatakan akan ke toilet.
            Selagi menunggu Ibas ke toilet, Fania membuka kunci handphonenya. Ia menatap lama layar wallpaper dengan foto dia dan Arin di bukit. Betapa kerinduan sudah meggebu-gebu dalam benaknya ketika mengingat tentang Arin. Namun tidak lama kemudian ada panggilan masuk dengan nama Arin yang tertulis dilayar.  Dengan cepat Fania mengangkatnya dan seketika itu ia tidak bisa lagi menahan air matanya.
            “Jahat, jahat. Di telpon gak pernah aktif, di sms juga gak pernah bales. Jahat!” rengek Fania. Terdengar suara Arin yang terkekeh dibalik telepon.  “Kapan Pulang?”
            “Iyah, maaf. Besok aku balik dan aku pengen ngasih tau kamu seseorang yang kita ceritain di bukit itu,” ujar Arin.
            “Serius? Sekarang udah waktunya aku tahu? Sip. Aku gak sabar nunggu besok…” belum sempat Fania melanjutkan kalimatnya, dari belakang Ibas berjalan dan menghampiri Fania langsung berlutut di depannya dengan membawa seikat bunga mawar kesukaan Fania.
            “I love you Fania. Bisakah kita menjadi lebih dari ini?” tanya Ibas. Fania terkejut sekali
“Ibas..” Ia tidak mengerti apa yang dilakukan Ibas kali ini. Dengan handphone yang masih terhubung dengan Arin, Fania hanya bisa diam. Arin pun terkejut. Tangannya gemetaran. Jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Sendi-sendi kakinya seakan melemah semua. Ia pun terjatuh begitu saja. Sementara itu handphonenya entah kemana.
Dunianya seakan runtuh seketika itu. seseorang yang disukainya, seseorang yang ingin dikenalkannya kepada Fania, seseorang yang dianggapnya lebih, ternyata hanyalah gambaran fatamorgana yang saat ini membentang dan mengisi ruang kamar hotel tempatnya menginap selama seminggu di Bandung itu. Arin menjadi sangat panik, rasa sakit, sedih dan entah rasa apalagi kini membekukan air matanya. Satu-satunya yang melihatnya selama ini pada akhirnya berpaling dan terperangkap ke hati sahabatnya.
Semalaman suntuk Arin hanya duduk terdiam di balkon hotel. Cinta pertamanya begitu dramatis berakhir tanpa pernah dinyatakannya. Namun lebih dari itu, perasaan iri yang ditampiknya selama ini terhadap Fania pelan-pelan keluar memenuhi rongga dadanya. Menyesakkannya seketika. Ia pun kembali menangis. Ucapan demi ucapan teman-temannya yang mengatakan bahwa Fania nomor satu dan Arin hanyalah pengikut mulai membayanginya. Apakah benar, tidak pantaskah aku, diulang-ulang Arin sampai subuh akhirnya menyapa kota kembang itu.
Arin masih betah duduk dan membaur bersama embun yang membasahkan sebagian dari pakaiannya. Mukanya pucat, namun pikirannya masih bersama Fania si nomor satu. Kemudian ia masuk dan merebahkan badannya. Entah kemana perginya rasa kantuknya. Ia terus saja bergelayut dengan pikiran-pikiran negatif tentang dirinya sendiri. Tentang ketidak pantasannya dibanding Fania yang memiliki segalanya. Bahkan cinta pertamanya pun terpesona pada Fania.
Sementara itu, pagi-pagi sekali Fania sudah berada di rumah Arin dan meminta bantuan bu Tatik untuk membuatkan makanan-makanan kesukaan Arin. Setelah semua selesai, Fania kemudian menuju teras rumah dan mengambil posisi di kursi taman yang tidak jauh dari pagar.  Mondar-mandir sudah sejam Fania menunggu Arin yang tidak kunjung datang. Sesekali ia keluar ke luar pagar untuk sekedar mengecek dan menunggu lagi. Bahkan sudah lewat pukul tiga sore belum juga ada tanda-tanda Arin akan pulang. Handphonenya pun juga tidak aktif.
Melihat kegelisahan Fania, bu Tatik langsung menyuruhnya untuk menunggu di kamar Arin terlebih dahulu. Fania pun mengikut. Ia menunggu dan tidak sengaja tertidur. Dan ketika terbangun jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Fania berlari melihat apakah Arin sudah pulang dan ternyata belum juga ada kabar. Fania semakin khawatir. Begitupun bu Tatik. Namun, tidak lama kemudian suara telepon berbunyi. Bu Tatik dengan sigap mengangkatnya dan disana sudah tersambung mamah Arin yang mengatakan bahwa hari ini Arin meninggalkan Indonesia untuk keluar negeri.
Menceritakan hal itu kepada Fania, air mata Fania tidak bisa lagi tertahankan. Ia membuang boneka teddy bear pemberian Arin untuknya dan berlari menuju rumahnya. Semalaman ia menangis karena kekecewaannya terhadap Arin yang pergi begitu saja.
Sejak saat itulah tidak ada lagi kabar tentang Arin. Tidak ada kontak yang bisa dihubungi Fania. Terakhir setelah menelepon orang tua Arin mereka mengatakan bahwa Arin memang ke luar negeri tapi tidak bersama mereka. Begitulah Arin dengan kehidupannya yang bebas. Orang tuanya pun mendukung karena kesibukan yang tidak mungkin untuk mengurusinya. Bertahun-tahun, malam itulah untuk terakhir kalianya Fania dapat mendengar tawa kecil ibu perinya itu. bahkan sampai hari ini pun ketika mengingat itu, Fania masih sering menangisinya semalaman.
Sudah 5 tahun berlalu, belum juga ada kabar dari Arin. Entah bagaimana saat ini wujud Arin, namun Fania akhirnya berhasil menjadi model seperti keinginannya yang diucapkannya dulu. Setelah memenangkan kontes kecantikan, dengan piala yang masih dipeganginya Fania mengunjungi rumah Arin. Ia berjalan menyusuri kamar Arin yang masih seperti dulu. Tapi entah mengapa, kali ini Fania ingin benar-benar menemukan alasan mengapa Arin tiba-tiba pergi. Mungkin jawabannya ada disini, telusuknya dalam hati.
Ia pun segera mencari apapun yang bisa dicarinya. Ia membongkar semua barang-barang Arin dan akhirnya berenti pada sebuah catatan harian berwarna coklat itu. tidak apa untuk kali ini, pikirnya. Ia pun mulai membuka buku harian tersebut. Pada halaman awal ada foto mereka ketika di bukit dan cerita-ceira kecil tentangnya.
Dengan foto centil ala Fania, Arin menuliskan kebahagiannya disitu. “Sahabat terbaik untuk selamanya. Dia dengan suaranya yang melengking yang memecah keheningan dalam hidupku yang kosong. Karena sahabat sepertinya, Arin yang sekarang tumbuh dengan penuh kasih sayang. Jangan sampai sakit anak mamih,kamu rewel banget kalau sakit,” tulis Arin. Di lembar berikutnya juga tentang foto-foto mereka dibeberapa tempat yang mereka pernah kunjungi. Air mata Fania pun pecah seiring kalimat-kalimat yang dituliskan Arin tentangnya. Bahwa ia tidak salah telah merindukan sahabat terbaik seperti Arin.
Dan sampai pada sebuah tulisan yang membuat Fania berhenti lama untuk berpikir sejenak. “Pratama Ibas Syahputra.” Dilembar kosong dan bersih itu hanya ada satu kalimat yang beruliskan nama panjang Ibas. Teman mereka ketika sekolah dulu. Fania menyeka airmatanya dan membuka lembaran berikutnya. Dan seketika itu seluruh kekuatannya seakan menghilang setelah menemui tulisan yang menjadi bagian terakhir dari cerita Arin.
“Andai aku adalah Fania, mungkin akan lebin mudah untuk menarik perhatian Ibas dan menyatakan perasaanku padanya. Karena aku tidak meiliki seseuatu seperti itu, maka selama ke Bandung akan ku kumpulkan semua kebernaianku. Dan aku juga akan menyatakannya setelah semua ini selesai. Ehehehehe, gak sabar ngelihat ekspresi Fania kalau denger cerita ini. Bintang, tolonglah beri kekuatan untukku.”
Fania tersentak. Ia mengingat betul bahwa malam ketika ia sedang berbicara dengan Arin tiba-tiba Ibas mengungkapkan perasaannya.  Fania menjadi sangat bingung. Rasa bersalahnya, rasa kecewanya terhadap dirinya sendiri, rasa marahnya karena tidak mengetahui perasaan sahabatnya membuatnya sangat frustasi. Ia kemudian pergi meniggalkan kamar Arin sambil terus menangis. Ia benar-benar menyalahkan dirinya sendiri.
Fania menghabiskan waktunya dengan menatap matahari senja dari balkon kamarnya. Sabtu sore dengan matahari seperti ini, apa sekarang kamu juga sedang ngeliat ini, Rin? tanyanya dalam hati. Air matanya kembali bercucuran deras sekali tanpa komando. Kerinduannya terhadap Arin benar-benar tidak bisa tertolong lagi kali ini.
Selanjutnya hari-hari berjalan seperti biasa. Sayangnya, penyesalan Fania ternyata semakin mendalam. Ia terus saja murung dan hanya bicara jika diajak bicara, bahkan bergerak pun hanya ketika disuruh bergerak. Setelah mengurung diri di dalam kamar selama tiga hari, akhirnya manajemennya berinisiatif menyuruhnya untuk mengunjungi seorang designer yang akan menggunakannnya sebagai model dalam peluncuran baju-baju hasil karyanya. Dengan model diam seribu bahasa khas Fania ketika sedih, ia berjalan menuju kantor designer tersebut. Menurut manajernya, designer tersebut adalah orang asli Indonesia yang bersekolah ke luar negeri.
Sayangnya Fania tidak berhasil menemuinya. Ia hanya ditemani oleh asisten sang designer untuk berlenggak-lenggok di catwalk dengan mencoba beberapa baju. Tiga jam sudah Fania beserta model-model lainnya berlatih dan akhirnya ia memutuskan untuk pulang lebih dulu tanpa menunggu si designer itu lagi. Di mobil yang dikendarai supir pribadinya, Fania hanya diam. Sesekali ia menyeka air matanya entah bersedih karena apa. Hanya saja yang ingin dilakukannya saat ini adalah menemukan Arin, memeluknya dan menjelaskan semuanya.
Dan ketika mobilnya hampir melewati bukit yang biasa dikunjunginya bersama Arin, ia melihat ada orang yang berdiri disana. Fania langsung mengarahkan supirnya untuk segera berhenti. Entah itu Arin atau orang lain, namun Fania sangat berharap bahwa orang itu adalah sahabatnya. Fania berlari cepat sekali mendaki bukit. Ia tidak mau kehilangan Arin lagi saat ini. Harapannya begitu tinggi. Namun, setelah sampai di atas bukit, ia tidak melihat siapapun. Tidak ada Arin bahkan orang yang dikirinya Arin itu.
Fania semakin frustasi. Dadanya dipenuhi rasa sesal yang seakan ingin memuntahkannya segera semua isinya. Ia menangis teisak, terbata-bata menyebut nama Arin. Suaranya bahkan tidak terdengar sama sekali ketika memanggil-manggil nama Arin.
“A..riiin,” panggilnya. “ARIIIIIIN!!!” kali ini dengan suara melengkingnya. Hanya ada jawaban dari suaranya yang menggema. Fania benar-benar putus asa kali ini. Matanya sudah sangat sembab. Ia pun memutuskan untuk pulang. Dan ketika ia berbalik…
“Aakh!” kata Fania refleks. Seikat bunga liar yang biasanya dia dan Arin kumpulkan tiap kali ke bukit ini mengenai kepalanya. Dengan wajah kesal namun sedih ia pun berbalik. Air matanya langsung keluar semua, tumpah tanpa menunggu Fania menyekanya. Melihat Arin yang saat ini berdiri di hadapannya membuat seribu pertanyaannya, kekesalan dan kerinduannya memuncak. Tapi entahlah, seketika itu ia seperti kehilangan kekuatanya. Ia hanya diam dan menangis sejadi-jadinya ala Fania.
Arin pun seperti itu. badannya seakan gemetar melihat sahabat yang dirinduinya itu ada di hadapannya saat ini. Ia kemudian berjalan dengan cepat lalu memeluk Fania. Luapan rindu yang dibatasi oleh kemarahannya ketika remaja dulu benar-benar ditumpakan Arin. Begitupun Fania.
“Maaf, Fan. Aku pergi gitu aja,” kata Arin membuka perbincangan.
Fania menggeleng sambil menyeka air matanya. “Enggak, Rin. Aku yang salah. Selama ini kamu selalu tahu tentang aku. Tapi aku?” ujar Fania menyalahkan dirinya. “Aku emang bukan sahabat yang baik. Aku yang salah, Rin.”
Arin tersenyum dan mengambil posisi berbaring memandang langit yang mulai menjingga. “Beberapa tahun yang lalu aku hanya fokus dengan rasa iri ke kamu. Aku lupa udah nerima banyak hal dari kamu,” tambah Arin dengan bibir yang bergetar. “Hidup sendirian ternyata gak enak, Fan. Setidaknya dulu masih ada kamu, orang tua kamu, bu Tatik. Setidaknya dulu ada yang selalu dukung aku apapun yang terjadi.”
Fania yang mendengar itu tersenyum dan menoleh ke Arin. Ia pun ikut berbaring disebelah Arin dan ikut pula memandang hamparan langit yang luas tanpa batas itu.
“Aku gak pernah jadian sama Ibas, Rin. Kamu tahu kan yang seperti dia bukan tipe untuk seorang Fania?” goda Fania. “Malam itu juga aku nolak Ibas, Rin. Aku diam karena aku bingung saat itu,” tambah Fania. “Dan setelah itu kita hanya temenan.”
“Hahaha,” suara Arin terkekeh mengingat kejadian yang dulu-dulu. “Sekarang Ibas dimana yah?”
Fania terkejut mendengar pertanyaan Arin. “Kamu masih???”
“Enggak lah!” bantah Arin cepat. Mereka pun saling memandang dan tertawa lepas sekali. Persis ketika mereka masih memakai seragam  beberapa tahun yang lalu. Tahun-tahun yang menguji ketulusan dua sahabat ini akhirnya dapat mereka lalui.
Arin kini menjadi designer seperti cita-citanya dulu. Fania pun turut membantu menjadi model dalam beberapa kali show yang dibuat Arin. Setelah bekerja, mereka biasanya menghabiskan waktu berdua mengunjungi tempat-tempat yang dulu pernah dikunjungi. Berbincang tentang pengalaman satu sama lain seperti membayar masa-masa yang terbuang bgitu saja karena kesalahpahaman dimasa remaja. Waktu terasa singkat ketika mereka bersama. Kali ini mereka berjanji untuk tidak lagi memendam apapun yang mereka rasakan. Sehingga tidak perlu lagi ada yang pergi.
Waktu sudah menunjukkan pukul 04;30 pagi. Fania yang kebetulan hari itu menginap di rumah Arin bercerita tanpa putus tentang pengalamannya menjadi model. Sampai akhirnya mata sipitnya itu sudah tidak mampuh lagi dibukanya. Arin hanya tersenyum. Arin kemudian memperbaiki selimut Fania dan selanjutnya juga ikut tertidur.



Senin, 16 Februari 2015



Alhamdulillah sampai juga pada hari ini. Hari dimana bertahun-tahun dengan kalimat yang sama dan senyum serta binar mata yang sama, ibunda selalu bercerita tentang kebahagiaannya memilikiku. Beliau bercerita dengan tawa bangga yang selalu membuatku merinding ketika mendengarnya. Dan cerita perjuangannya menahan sakit semalamam sampai rasanya kematian sudah didepan mata selalu membuatku merasa bersalah sampai hari ini..

21 tahun cerita itu berlalu. Aku tumbuh cukup baik dengan kasih sayang yang tidak pernah kurang sedikitpun. Kasih sayang yang menjadi tamparan ketika aku mengeluh dalam jalanku berproses, kasih sayang yang selalu menjadi obat ampuh ketika sakit menggerogoti tubuh di perantauan.

21 tahun berlalu,, meski belum banyak bahkan masih belum sebanding dengan setengah keringat dan lelah mereka, hari ini... rasa terima kasih untuk semua hal yang tidak cukup untuk bisa ku utarakan. terima kasih karena telah menjadi ayah ibuku, menjadi kakak satu2ku, menjadi malaikat-malaikat yang selalu khawatir tentangku.

Untuk ayah yang selalu menjadi kekuatan bagi ibu, kakak dan aku, untuk keluarga terima kasih. Hal-hal yang tidak sempat ku tau, rasa khawatir yang selalu ku tampik, rasa sayang yang tidak ku mengerti terima kasih.

Untuk ibu yang selalu menjadi perekat bagi kami, ayah, kakak, aku, dan keluarga kita terima kasih. Makanan, pakaian yang selalu engkau sediakan, cinta yang tidak pernah habis, serta air mata yang selalu jatuh hanya karena demam semalam, yang tidak pernah tertidur sebelum aku, terima kasih. 

Untuk kakak yang satu-satunya ku miliki. Aku kadang terlihat acuh, kadang dengan tiba-tiba menunjukan kemarahanku. Bukan karena akka melakukan kesalahan, hanya saja aku tidak menyukai perhatianmu terbagi pada yang lain selain aku. Aku selalu ingin menjadi yang satu-satunya untukmu. Tapi mengungkapkannya itu yang masih belum bisa ku lakukan. Terima kasih untuk banyak hal...

21 tahun tumbuh ditengah-tengah kalian adalah hadiah yang selalu ku syukuri setiap hari. Bahwa aku adalah anak ayah ibu, adik akka satu-satunya. Maaf untuk semua kesalahan bungsu kalian ini.. juga terima kasih..







sayang kalian,,

ayah, ibu, akka, ande
yogyakarta, 17 februari 2015

Rabu, 14 Januari 2015

Ketika arti rindu adalah dia

Seseorang yang ku kenal pernah mengatakan ini, bahwa tidak ada alasan menangisi seseorang yang tidak mengetahui isi hatimu. "Alasan bahwa mencintainya lebih dalam tidak sama sekali membenarkan air matamu jatuh setiap saat," katanya.

Kalimat-kalimat itu seperti meruntuhkan kekuatanku selama ini. Susunan katanya seperti mengaburkan semua hal yang ku lakukan. Tentang kerinduan yang tiap malam ku tangisi dan tentang perasaan yang ku anggap sebagai oksigen dimana setiap hari membantuku bernafas, seketika itu aku seperti kehilangan semuanya.

Jelas bahwa aku menemui batas jenuhku. Umm,, mungkin lebih tepatnya aku menemui pencerahan yang tepat. Memang agak sedikit terlambat bahwa aku mulai menemui ujung benang merah yang terlanjur mengusut bertahun-tahun dan aku hidup dengan hanya memeganginya. Dan entah dari mana kekuatan untuk mulai menarik ujungnya ku dapati. Sambil terus menariknya, secara bersamaan semua hal yang terjadi  sebelum hari ini tiba menghampiri dan meragukan jemari-jemariku lagi. Iyah, aku masih bisa merasakan bagaimana melewati malam-malam yang seperti hantu itu. Aku juga masih bisa merasakan ruang kosong yang hanya ku sediakan untuk sesuatu yang ku yakini didirinya. Hanya saja aku masih tidak percaya bahwa aku lebih berani melihat sisi lainku yang menyedihkan saat ini.

Lalu kemudian aku menyadarinya, bagaimana sesuatu yang tidak pernah dimulai bahkan bisa memiliki akhir? Aku mengulanginya terus menerus. Aku bahkan terlupa bahwa telah sampai di titik ini.Tidak ada yang pernah dimulai sebelumnya, lalu apa yang bisa ku harapkan? Aku bisa mendengar kalimat itu ditengah-tengah penantianku. 

Sampai ketika secara tidak sengaja aku bertemu dengan wajah yang sangat ku kenali berdiri di hadapanku. Ia menangis, Ia mengatakan bahwa sudah selesai semuanya. Bahwa aku hanya terobsesi pada cinta kecil yang masih saja ku bawa-bawa. Ia mengatakan bahwa sudah saatnya melanjutkan hidup. Ia terus menangis, tapi binar dimatanya berbeda. Sesaat sebelum ku sadari bahwa aku sedang berbicara pada diriku sendiri adalah aku melihatnya tersenyum. 

Cinta yang selalu ku ceritakan pada akhirnya ku sadari sebagai cinta remaja yang hanya bisa tumbuh waktu dulu saja. Cinta yang terlihat kekanak-kanakan yang sudah tak seharusnya ku paksakan lagi kehadirannya. Aku memaksakan hatiku tanpa bertanya lebih dulu apakah ia terluka. Aku mengabaikan beberapa hal dan melanggarnya. Tidak seharusnya ku paksakan hatiku jika sejak awal sudah ku tahu bahwa aku hanya memiliki keberanian menyukainya sebanyak yang ku mau tanpa keberanian mengatakannya. 

Dan tulisan ini... entahlah dengan maksud apa. Hanya saja aku menemuinya lagi dalam mimpi beberapa hari yang lalu. Mungkin karena aku merindukan sosok hangatnya. Atau hal lain yang dulu pernah membuatku jatuh cinta padanya. 

Sudah ku selesaikan cinta kecilku. Iyah, seharusnya sudah dari jauh-jauh hari. Aku hanya ingin mengatakan bahwa saat ini, aku jauh lebih baik.




Kamis, 01 Januari 2015

alasan itu dia

Setelah menghadiri sebuah seminar dimana aku menjadi salah satu peembicara dalam acara yang digalakan para mahasiswa itu, langsung saja dengan tergesa-gesa aku mencari dimana toilet kampus yang terkenal dengan gedungnya yang luas itu. Dengan meminta bantuan beberapa mahasiswa yang tidak sengaja ku temui di luar, akhirnya aku menemukannya. Tidak tunggu lama langsung ku muntahkan saja semua isi dalam perutku. Kemudian setelah menunggu beberapa saat dan merasa lebih baik, ku telepon pak Pardi supir pribadiku untuk menjemputku segera.

“Mbak, ke rumah sakit aja yah,” kata pak Pardi yang melihatku lemas bersandar di kursi belakang. Keadaanku seperti ini memang sudah biasa ku tampik dan ku acuhkan. Tapi kali ini aku benar-benar merasa tidak sanggup. Rasa nyari dibagian perutku benar-benar tidak seperti sakit yang biasanya ku rasa. Langsung saja tanpa menunggu jawabanku pak Pardi mengarahkan mobil menuju rumah sakit terdekat.

Setelah mendapatkan ruangan, rasa nyeri diperutku semakin menjadi. Air mataku sudah tidak keluar lagi, begitupun suaraku. Aku hanya bisa terpejam sambil memegangi perutku. Masih sempat ku dengar beberapa suster melaporkan hasil pemeriksaan mereka pada dokter bahwa maagku yang kambuh. Setelah itu aku benar-benar tidak bisa mendengar apapun lagi.
….
Beberapa saat kemuadian akupun terbangung setelah menghabis beberapa jam tertidur pulas. Mataku kesana kemari mencari pak Supri tapi tidak ada. Dan ketika aku menoleh keluar jendela mataku berhenti pada sebuah memo yang ditingalkan di atas meja dekat ranjangku saat itu. langsung saja ku ambil dan ku baca.

Cepat sembuh, Hani.” Tanpa meninggalkan nama atau petunjuk apapun. Ku putar kembali ingatanku untuk menebak siapa yang menulis memo ini. Namun, tidak ada yang memanggilku Hani selama ini kecuali… Bibirku keluh dan tanganku mulai berkeringat. “Dewa,” kataku bersemangat. “Iya, Dewa.” Hanya dia yang memanggilku Hani, karena menurutnya nama Hanindia begitu rumit diucapkan.

Ku lihat pak Pardi masuk membawa laptop, handphone dan pakaian gantiku. Ia terkejut melihatku sudah duduk sambil cengengesan.

“Loh, Mbak, ada apa?”

“Pak Pardi, tadi selain suster sama dokter ada siapa lagi?”

Pak Pardi sedikit tertegun. Dengan keningnya yang berkerut ia menggeleng dan mengatakan bahwa tidak ada orang lain selain dia, dua orang suster dan seorang dokter. “Belum ada yang tahu Mbak Hanindia masuk rumah sakit,” tambahnya. Raut wajahku langsung berubah mendengar penuturan pak Pardi, supir setiaku itu. “Ada apa Mbak?” Aku hanya menggeleng dan merebahkan kembali badanku sambil menutupi seluruh tubuhku dengan selimut.
….

Demi mengusir kejenuhanku, ku buka kembali leptop kesayanganku itu dan ku lihat beberpa tulisan yang belum sempat ku selesaikan. Maklumlah, sebagai seorang penulis dateline adalah yang mengerikan dan tidak ada alasan untuk menundanya. Jadi sembari berbaring, ku selesaikan beberap paragraf yang bisa ku selesaikan. Sesaat kemudian ku lihat dua suster masuk dan membawa peralatannya. “Diperiksa dulu, mbak Hanindia,” kata salah satu dari mereka dengan ramah. Aku hanya mengangguk dan menaruh leptopku di atas meja samping ranjang.

“Suster, kira-kira kapan yah saya bisa keluar?” tanyaku penasaran mengingat cafe yang harus ku urusi. Belum sempat suster yang ku tanya itu menjawab, seseorang dengan jas putihnya memasuki ruanga dan mengambil alih tugas suster dengan cepat.

“Sore ini bisa pulang kalau pasiennya nurut buat istirahat,” katanya sembari sesekali melirikku. Mendadak hening yang ada di ruangan. Kedua suster itu pun juga hanya saling melirik satu sama lain. Ku lihat lagi lekat-lekat seseorang yang sedang memeriksa tensi darahku itu. Dan ternyata ketiaka ia membalasku dengan menatap, langsung seketika itu aku mengenalinya.

“Dewa!!!”
“Dewa! Iya kan Dewa?” tanyaku terus. Ku lihat anggukannya yang masih saja mengagumkan. Langsung ku peluk teman kecilku itu. ia pun membalasnya. Sontak hari itu menjadi hari reunian mendadak kami. Yah walaupun Dewa adalah seniorku satu tahun, namun kami selalu ada di sekolah yang sama sejak Sekolah Dasar sampai SMA. Barulah ketika ia memutuskan untuk keluar kota tidak ada lagi kontak yang tersedia. Benar bahwa aku pernah mendengarnya menjadi seorang dokter, namun aku tidak menyangka bahwa ia bertugas di kota ini.

Kami tidak bisa mengobrol lebih lama karena ia harus melanjutkan lagi pekerjaannya. Dia mengisyaratkanku untuk melepas sementara kegiatanku bersama leptopku itu dengan lirikan matanya dan telunjuknya yang megarah pada leptop dan telepon genggam di samping ranjangku. Aku hanya mengangguk dan ia pun berjalan meninggalkan ruanganku. Ku lirik pak Pardi yang cengengesan melihatku curiga. Aku hanya tersenyum geli dan kembali berbaring.
….
Dewa adalah semua alasan yang terjadi di dalam hidupku sampai saat ini. Ia Selain baik, ia juga terkenal karena kecerdasannya sewaktu sekolah dulu. Beberapa kali menjadi ketua OSIS sewaktu SMP dan SMA dan aku menjadi bagian di dalamnya. Tidak bisa ku pastikan jelas kapan dan bagaimana awalnya kami mulai dekat. Namun, dengan seringnya mengikuti organisasi yang sama sewaktu itu, kami menjadi sering bertukar pikiran dan mengembangkan ide-ide untuk  organisasi kami. Karena seringnya kami mengikuti kegiatan di waktu sekolah, beberapa dari kami sampai harus membawa buku pelajaran untuk dipelajari kembali. Dan karena Dewa merupakan kakak kelas satu tahun diatasku, aku menjadi lebih mudah untuk bertanya. Dia pun tidak keberatan menjelaskannya padaku.

Hal itu berlanjut ketika aku memasuki jenjang menengah dimana Dewa sangat membantuku banyak hal. Kami pun menjadi semakin dekat. Meskipun tidak searah, ia kadang menjemput dan mengantarku pulang. Selain itu ia juga sering mengajakku untuk melihat acara-acara yang diadakan sekolah. Sampai pada saat kami menikmati makan siang di kantin sekolah, ia menatapku lekat dan mengalihkannya lagi.

“Ada apa?” tanyaku penasaran. Ia menggeleng dan hanya tersenyum. “Ih, kenapa sih?” tanyaku semakin penasaran sambil menggoyang-goyangkan tangannya.

“Aku udah daftar di fakaultas kedokteran,” jawabnya dengan mata berbinar-binar. Aku sudah yakin bahwa itu adalah pilihan terbaiknya. Aku pun begitu senang. “Kamu harus belajar yang bener, biar bisa bareng aku nanti,” celotehnya.

Aku langsung terdiam. Apakah Dewa menginginkanku untuk terus mengikutinya, atau hanya ucapan biasa yang tidak sengaja dilontarkannya. Meskipun aku juga memiliki niat untuk menjadi seorang dokter, namun aku tidak begitu memiliki keyakinan menjalaninya. Aku hanya senyam senyum sembari melahap makan siangku. Entah mungkin karena terlalu seringnya kami bersama sehingga mendengar kalimatnya itu aku merasakan sesuatu yang berbeda. Mungkin hanya perasaanku atau mungkin juga tidak. Namun sepertnya semakin hari perasaanku semakin berkembang pula.
….
Jika mengingat kejadian itu, kadang karena aku bukanlah seorang dokter hari ini aku menjadi takut berhadapan dengannya. Hari itu entah mengapa aku seperti mendengar permintaannya yang sungguh-sungguh. Dengan terus membayangkan akan terus bersamanya, aku mati-matian mengejar ketertinggalanku dan berusaha untuk bisa lolos dan masuk di fakultas tersebut. Selain alasan tersebut, aku juga tidak ingin berada jauh dari Dewa ketika itu.  

Salah satu hal yang selalu ku ingat dan menjadi penyemangatku ketika itu adalah dihari kelulusannya dan keberhasilannya lolos menjadi salah satu mahasiswa kedokteran, ia mengajakku makan malam sebelum akhirnya harus pergi ke luar kota tempatnya melanjutkan kuliah. Masih jelas diingatanku bagaimana ia begitu bahagia. Tanganku digenggamnya sepanjang perjalan denga begitu erat. Tidak lepas senyumnya malam itu. Hah, perasaanku pun juga ikut melayang kemana-mana.

“Kamu pasti bisa,” katanya sembari mengacak-acakkan rambutku seperti anak kecil. Aku hanya tersenyum. “Aku tunggu kamu disana, yah,” tutupnya

“Doain aku,” kataku pelan. “Aku jadi gugup banget.” Ia hanya mengangguk dengan yakin. Dan sebelum pulang, aku memberikan sebuah hadiah. “Nanti aja bukanya.”

Ia melihatku sekali lagi. Dan dengan gerakan yang sangat cepat, ia mengecup rambutku. Untuk pertama kalinya bagi kami, dan itu terjadi begitu saja. Pipiku memerah dan Dewa pun terlihat sangat salah tingkah. Senyum kami tidak bisa lagi tertahankan. Ingin sekali rasanya ku nyatakan saja perasaanku, namun aku masih merasa belum pantas untuk seorang Dewa. Aku belum menjadi apapun, pikirku.
….
Suatu hari terburuk dimana aku kehilangan segalanya pun terjadi dimana beberapa tahun lalu ketika aku mengetahui kegagalanku masuk ujian perguruan tinggi. Aku menjadi sangat bingung, apa yang harus ku lakukan, dia pasti telah menungguku, pikirku dalam hati. Kami sudah saling tidak memberi kabar setelah malam itu dan aku berharap setelah pengumuman aku akan menghubunginya. Namun, semua yang ku rencanakan memecah satu-satu.

Aku semakin malu untuk menghubunginya. Dan setelah berpikir beberapa hari, akhirnya ku putuskan untuk keluar kota dan memulai sesuatu yang baru disana, tempat dimana aku tidak akan menunjukkan wajahku kepada Dewa. Setelah mendapat persetujuan orang tua, satu-satunya tempat yang terintas dibenakku ketika itu adalah Yogyakarta. Aku mengganti nomor telepon dan menonaktifkan semua akun yang berhubungan dengan Dewa. Aku benar-benar ingin memulai yang baru, tekatku.

Disinilah hidupku benar-benar menjadi berubah. Aku menemukan banyak hal disini. Apa yang aku inginkan. Dan dari semua pencarianku yag paling mengagumkan adalah aku menemukan tujuanku. Pelan-pelan ku bangun dari menjadi seorang penulis amatiran yang mengirimkan tulisan-tulisannya disemua website yang menyediakan forum bagi penulis pemula sepertiku sampai menjadi aku yang seperti saat ini. Tidak berhenti disitu, karena kegemaranku mencari tempat tongkrongan ketika kuliah dulu, akupun mewujudkannya sekarang dengan membuka sebuah café dimana semua anak-anak muda bisa menggunakannya untuk berdiskusi, mengerjakan tugas, ataupun dijadikan pilihan untuk ngedate. Dan inspirasi penulisanku pun bisa keluar jika sudah duduk di café yang susah payah ku cari modalnya itu.

Dengan semua hal yang sudah ku lakukan sampai hari ini, kesedihanku karena gagal menjadi seorang dokter sudah bisa ku obati. Rasa kecewa yang tidak ditunjukkan orang tuaku karena kejadian beberapa tahun yang lalu itu pun sepertinya sudah terbayarkan dengan pencapaian yang bisa mereka lihat dan rasakan hasilnya itu. Aku merasa lebih hidup saat ini. Menikmati pekerjaan yang benar-benar ku sukai.

Namun, pertemuanku bersama Dewa benar-benar membuatku gugup. Aku sudah menghilang begitu saja tanpa memberinya kabar, sejujurnya aku merasa bersalah.
….
Dibantu pak Pardi dan bu Ina, istrinya, semua barang-barangku pun sudah rapih. Suster pun telah datang untuk memberikan pemeriksaan yang terakhir. Namun kali ini, dia… Dewa tidak ada.

“Suster, dokter Dewa…”

“Dokter Dewa masih ada urusan mbak,” sela si suster dengan ramah. Aku hanya mengangguk lesu mendengar jawaban suster itu. Terlintas dipikiranku tentang dia. Bagaimana bisa dia tidak mengunjungiku, pikirku menyeletuk dalam hati. Dan setelah semuanya selesai, kami pun meninggalkan rumah sakit. Perasaan kesal dan berbagai pertanyaan sudah membentang sana-sini di otakku dalam perjalanan pulang.

Beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit, aku memulai aktivitas seperti biasnya. Namun kali ini aku disibukkan dengan rencana pembukaan butik yang isinya adalah hasil dari rancanganku sendiri. Mimpi yang sejak lama ku bayangkan itu masih dalam pengerjaan untuk diwujudkan. Aku mulai kesana-kemari mencari tempat, bernego harga sewa, lalu mencari bahan-bahan kain yang berkualitas. Dan setelah seharian berkeliling ditemani pak Pardi, ku putuskan untuk menulis sebentar di café sambil melihat perkembangan omsetnya.

Sambil terus memeriksa laporan keuangannya aku tidak sadar seseorang telah duduk di depanku. Ia tersenyum melihat keterkejutanku. Belum sempat berkata apapun, ia langsung menyodorkan buku perdana yang ku tulis.

“Ini asli, loh. Jadi kamu harus ngasih tanda tangan untuk penggemarmu ini,” katanya cengengesan. Aku masih terkejut, namun raut wajah Dewa yang teduh itu membuat senyumku cepat sekali mengembang. Ku ambil buku dan merogoh isi tasku untuk mencari pulpen. Sejurus kemudian ia menyodorkan sebuah pulpen yang tidak asing menurutku. “Nih,” katanya. Aku meraih pulpen itu dan melihatnya sekali lagi. Benar-benar ini mengejutkan, pikirku. Ia masih menyimpannya.

“Ini kan..” tanyaku terputus melihat anggukan Dewa. “Kamu masih simpan?” sekali lagi ia hanya mengangguk.
“Pulpen kamu udah ngobatin banyak orang, Han,” katanya. Seketika raut wajah Dewa pun mulai berubah. “Kenapa kamu tiba-tiba gak ada kabar? Apa karena ucapanku yang bilang mau nunggu kamu jadi dokter?”

Mataku mulai berair. Perasaan malupun mulai merayapi otakku. Aku hanya mengangguk sambil terus menunduk. Seketika itu Dewa langsung mengambil tempat duduk di sampingku dan mendekapku begitu hangat. Ia mengusap rambutku pelan sekali.

“Aku gak bermaksud gitu, Han. Selama ini aku nyari kamu kemana-mana,” katanya dengan nada yang berat. Aku hanya bisa diam sambil sesekali terisak. “Jangan pergi lagi, yah.” Kalimat terakhir Dewa benar-benar membuatku gemetar. Perasaan yang bercampur aduk menggebu memaksa keluar dari dalam jiwaku. Perasaan tak pantasku semua hilang. Saat ini yang bisa ku rasa adalah aku menginginkannya.

Semua hal yang ku lakukan, semua pembuktian yang ingin ku tunjukkan,benar-benar terbalaskan. Dia kembali padaku, menjawab perasaan masa remaja kami. Dia, sosok semua alasan dalam hidupku benar-benar tidak bisa ku biarkan pergi lagi. Kali ini aku pun tidak akan lari lagi. Aku sudah menunggu lama untuk saat-saat seperti ini.



Rabu, 31 Desember 2014

Happy born day Ibu

Tidak akan pernah cukup syair pujian yang menggambarkan sosok ibu bagi setiap orang. Tentang bagaimana pengorbanan beliau dari mulai mengandung, sampai melahirkan dan membesarkan kita sampai hari ini, belum ada kalimat yang cukup untuk mengungkapkan rasa terima kasih tiap anak kepada ibundanya. Kita semua pasti memiliki cerita yang berkesan tentang ibu, entah bagaimana ketika mengingat semuanya rasa lelah, putus asa dalam perantauan, menjadi hilang. Sedikit pengantar tentang ibu, hari ini saya akan bercerita banyak hal tentang bagaimana ibunda saya memperjuangkan kelahiran saya dan menyemangati masa kecil saya yang harus tiap bulan bolak-balik ke rumah sakit.

Ketika saya berulang tahun beberapa tahun lalu, sambil membelai menemani saya tidur malam itu beliau bercerita tentang kebahagiaannya mengandung anak keduanya (saya). Beliau sangat bersemangat menjaga kesehatannya demi pertumbuhan saya yang masih dalam kandungan ketika itu. Namun ada bagian yang membuat dada saya begitu sesak ketika beliau bercerita bahwa ketika mengidam adalah saat-saat yang sangat menakutkan. Tidak sama dengan wanita hamil pada umumnya, ibunda saya tiap beberapa jam sekali akan memuntahkan gumpalan cacing yang entah dari mana asalnya. Mata beliau memerah ketika bercerita itu sambil terus membelai rambut saya.

"Cacing, Bu? Lalu bagaimana Ibu bertahan?" tanyaku polos. Ibu melanjutkan ceritanya bahwa ia sangat menginginkan anak yang dikandungnya (saya) lahir dengan selamat. Bahkan ketika beliau harus menutup matanya kuat-kuat untuk tidak melihat cacing-cacing itu keluar dari mulutnya, beliau masih tetap bersikeras untuk mempertahankan saya. Dan kalimat yang selalu membuat saya merasa durhaka sebagai anak yang diperjuangkan dengan susah payah adalah ketika beliau mengatakan bahwa ia ikhlas jika sampai 6 bulan kemudian untuk memuntahkan cancing, asalkan anak yang dikandungnya selamat. "Ibu selalu yakin kamu bisa menjadi kebanggaan Ibu, entah dengan cara apapun," tutupnya. Kalimat terakhir ibu itu membuat saya benar-benar tidak bisa lagi menahan diri. Sembari memeluk, kami terisak beberapa saat.  

Tidak berhenti pada saat ibunda saya dengan masa-masa sulitnya ketika mengidam, ketika saya lahir pun merupakan saat-saat yang sangat berat bagi ayah dan ibu ketika itu. Terlahir dengan titipan penyakit, setiap bulan saya harus bolak-balik untuk memeriksakan diri. Sampai ketika satu tahun lalu setelah menjalani operasi, saya setengah terbangun dengan tangisan Ibu yang tepat duduk disebelah ranjang saya. Beliau menangis membangunkan saya. Ia menahan dokter dan beberapa suster menanyai mereka berulang-ulang mengapa anak saya lama sekali sadarnya. Timbul tenggelam suara beliau di telinga saya ketika itu.

Sebenanrnya saya bisa mendengar beliau, saya bisa merasakan beliau menggoyang-goyangkan lengan saya, namun entah mengapa mata saya berat sekali untuk terbuka. Saya terus saja mendengar beliau menangis di balik telepon. Ayah masih berada di luar kota ketika itu. Sampai saya benar-benar tidak bisa lagi mendengar suara Ibu, dan entah berkelana ke alam mana. Namun sesaat kemudian saya mendengar bacaan-bacaan ayat yang biasa saya dengar. Tidak hanya itu, saya juga mengenali suara yang timbul tenggelam itu. Beberapa saat kemudian saya mulai bisa merasakan genggaman dingin yang erat sekali. Dan ketika saya membuka mata beberapa jam setelah operasi seketika itu beliau menjadi histeris dan memeluk saya berkali-kali.

Beliau menjadi lebih sensitif setelah saya menjalani operasi setahun yang lalu itu. Ia lebih sering memeluk saya, dan lebih sering menemani saya. Beliau akan menangis hanya karena saya mengikuti perkemahan sekolah. Beliau tersedu-sedu dibalik telepon mengatakan kerinduannya. Mengingat hal itu kadang merenyuhkan hati saya. 

Kehilangan anak pertama membuat Ibu saya menjadi sangat dekat dengan kakak perempuan saya satu-satunya, terutama dengan saya sendiri. Mereka memperlakukan kami layaknya putri yang semua kebutuhan kami adalah hal yang tidak boleh tidak terpenuhi menurut Ayah Ibu. Tumbuh menjadi anak dengan kasih sayang yang tidak terhingga, tidak menghilangan peraturan-peraturan yang harus kami ikuti. Ayah Ibu mendidik kami layaknya orang tua kepada anak, kakak kepada adik, dan layaknya sahabat kepada sahabat. Tanggung jawab, kejujuran, dan agama merupakan salah satu yang tidak boleh ada pengecualian dalam keluarga kami.  Dan semua hal dalam kendali Ibu. Ibu menjadi jantung keluarga kami.

Ibu di keluarga kami adalah malaikat yang selalu berusaha kami jaga hatinya. Seperti Ayah memperlakukan Ibu, kami pun seperti itu. Dan hari ini, khusus ucapan terima kasih kami (ayah, akka, adek) untuk malaikat kami tercinta (ibu) dihari lahir beliau.

"Selamat Ulang tahun Ibu kami, kecintaan kami, kesayangan kami..
Maaf karena keberadaan anak-anakmu yang jauh sehingga hanya bisa mengirimi beberapa hadiah tanpa bisa memberi pelukan..
Ibu kami, kesayangan kami, terima kasih untuk tetap sehat hingga hari ini.. tetap mengurusi kami, menyayangi kami, yang mendoakan kami, yang melakukan banyak hal yang mungkin tidak pernah kami duga telah engkau lakukan... Untuk semua itu terima kasih kami, Ibu...
Tetaplah sehat, karena kami (anak-anakmu) dalam perjalanan menjadi yang terbaik untukmu, yang sedang berjuang menjadikan mimpi-mimpi yang Ibu inginkan terwujud...
Semoga Allah terus melimpahkan kesehatan, dan keselamatan padamu, Ibu..
Selamat ulang tahun dari jauh,, semoga tetap dalam lindugan Allah SWT,, Amin..
Kami menyayangimu Ibu..." 




Senin, 29 Desember 2014

Adele - I Can't Make You Love Me

Adele - I Can't Make You Love Me


Turn down the lights
Turn down the bed
Turn down these voices
Inside my head
Lay down with me
Tell me no lies
Just hold me close
Don't patronize
Don't patronize me

I can't make you love me if you don't
You can't make your heart feel
Somethin' that it won't
Here in the dark, in these final hours
I will lay down my heart
And I will feel the power but you won't
No you won't
'Cause I can't make you love me
When you don't
When you don't

I'll close my eyes
'Cause then I won't see
The love you don't feel
When you're holdin' me
Morning will come
And I'll do what's right
Just give me till then
To give up this fight
And I will give up this fight

'Cause I can't make you love me if you don't
You can't make your heart feel
Somethin' that it won't
Here in the dark, in these final hours
I will lay down my heart
I will feel the power but you won't
No you won't
'Cause I can't make you love me
When you don't
When you don't