Dari
luar pagar Arin sudah membunyikan klakson berulang-ulang sambil sesekali
menengok jam tangan yang dipakainya. Hampir pukul tujuh pagi itu tapi belum ada
tanda-tanda Fania akan keluar. Arin sudah menggerutu tanpa henti namun terus
duduk di atas motor metik putihnya. Sampai akhirnya dengan tergesa-gesa Fania
keluar dan mengembangkan senyum lebarnya.
Pagar
sekolah menengah itu sebentar lagi akan tertutup namun dengan sigap, Arin menarik
gas dan berhasil lolos dari guru yang sedang bertugas pagi itu. Mereka sampai
di parkiran dan kemudian menaruh helm. Wajah Arin masih saja menggambarkan
kekesalan yang luar biasa. Fania yang paham betul sahabatnya itu langsung
menggandeng lengan Arin dan dengan manjanya bergelayut memasang tampang memelas
keahliannya.
“Apa
sih?” kata Arin malas. Rupanya Fania belum berhasil menarik simpatik Arin yang
setiap pagi selalu saja nyaris terlambat karenanya.
“Iya,
iya, aku yang salah. Jangan marah lagi dong,” ujar Fania manja.
“Ya,
emang kamu yang salah kan? Tiap hari telat. Tidur jam berapa sih?” balas Arin.
Fania yang putus asa akhirnya berhenti dan seketika itu memasang tampang tak
berdosanya yang membuat Arin tidak pernah bisa marah lebih dari 3 menit.
“Maaf,” katanya dengan mata yang sudah digenangi air yang sepertinya sebentar
lagi akan keluar semua.
Arin
berbalik melihat sahabatnya itu. Ia selalu saja luluh setelah melihat Fania
dengan ekspresi seperti itu. Dengan perasaan yang masih setengah kesal, Arin
menarik tangan Fania dan mereka pun berjalan menuju kelas. Suasana hati
keduanya pun kembali seperti biasanya. Seperti Fania yang tidak bisa jika
melihat Arin kesal padanya, Arin pun tidak bisa lagi lepas kemana-mana tanpa
Fania. Mereka telah menghabiskan waktu bertahun-tahun dan menjadi sedekat hari
ini.
Dimana
ada Arin, tentu pula ada Fania. Walau selera mereka berdua selalu berbeda dalam
berbagai hal seperti musik, gaya berpakaian dan pendapat, tapi soal makanan
mereka senada seirama. Dari mulai sate ayam, bakso, jus, dan banyak lagi. Hanya
saja, jika Arin alergi udang, maka Fania alergi telur. Namun satu hal yang
mereka tidak pernah lewati ketika sabtu sore adalah menghabiskan waktu di bukit
yang tidak jauh dari rumah mereka untuk menunggu matahari terbenam.
Begitulah
Arin dan Fania. Mereka telah menjadi sahabat bahkan seperti keluarga sendiri.
Orang tua mereka pun begitu. Namun, berbeda jika orang tua Fania selalu ada di
rumah, orang tua Arin tidak. Mereka bekerja ke luar negeri hanya sebulan sekali
bahkan sampai enam bulan sekali Arin dapat bertemu orang tuanya. Sehingga orang
tua Fania sudah seperti orang tua kedua bagi Arin. Mereka pun sudah menganggap
Arin sebegai anak sendiri. Jadi apapun yang diberikan orang tua Fania
kepadanya, diberikan pula kepada Arin.
Selama
ini tidak ada satupun masalah yang menjadi besar diatara mereka. Kalau pun ada,
pada akhirnya masalah itulah yang menjadikan mereka jauh lebih dekat dan jauh
lebih saling memahami. Meskipun watak keduanya berbeda, mereka tetap berusaha
untuk tidak terbawa emosi. Sampai suatu hari, waktu membawa mereka pada sebuah
perjalanan panjang yang begitu melelahkan. Perjalanan yang tidak pernah terpikirkan
keduanya. Dan perjalanan itu pun dimulai ketika mereka kedatangan anak baru.
Anak
baru itu pun cepat sekali menarik perhatian anak-anak sekolah terutama
teman-teman kelasnya. Fania yang baru mendengar kabar ini langsung berlari
menuju toilet menghampiri Arin yang dari tadi belum juga kembali. Ia
mengetuk-negtuk pintu toilet yang masih tertutup itu.
“Rin..?
Kamu di dalam Rin?” tanya Fania tak sabaran sambil terus tangan mungilnya
mengetuk-ngetukkan pintu. Sesaat kemudia Arin keluar sambil memegangi perutnya.
“Kenapa
sih Fan? Rusuh banget,” gerutu Arin.
“Eh,
ada anak baru!” kata Fania yang langsung menggandeng Arin berjalan. “Cakep loh,
Rin. Orangnya tinggi, putih, rapih, dan katanya pintar juga,” tutur Fania tanpa
henti.
“Ibas!!”
seru Arin tiba-tiba menghentikan penjelasan Fania tentang anak baru. “Jadi
sekolah disini?” seseorang yang dipanggil Ibas oleh Arin itu kemudian tersenyum
dan berjalan menghampiri Arin dan Fania. Fania begitu terkejut mengetahui bahwa
yang sedang berjalan menuju kearah mereka itu adalah anak baru yang baru saja
diceritakannya kepada Arin. Dan yang lebih mengejutkannya lagi adalah Arin
lebih dulu mengetahuinya dan juga mengenalnya. “Yang ini kan?” bisik Arin
menyikut Fania pelan. Fania hanya diam. Ia begitu gugup nampaknya.
“Hey,
Rin!” sapanya sambil mengulurkan tangan untuk berjabat. Arin meraih tangan Ibas
dan mereka mengobrol seperti akrab sekali.
“Oh,
iya, nih kenalin,” kata Arin sambil memberikan kode untuk berkenalan kepada
Ibas.
“Ibas,”
sambil mengulurkan tangannya.
“Fania,”
jawab Fania lembut.
“Kami
berdua sama-sama anak komunitas designer, jadi ketemunya di komunitas internet.
Udah lama banget,” jelas Arin. Fania yang masih nampak bingung hanya
senyam-senyum mendengar penjeasan Arin itu.
Sejak
saat itu mereka bertiga menjadi lebih akrab. Sering pula mereka mengerjakan
tugas bergilir dari rumah Arin, Fania lalu rumah Ibas. Begitu seterusnya. Fania
pun memulai aksinya untuk mendapatkan Ibas. Daya pikat Fania memang tidak
pernah ada duanya. Denga hanya sekali lirik dan dalam waktu lima detik, orang
yang melihatnya pun lansung bisa jatuh hati dan mengejar-ngejarnya. Namun hanya
ada beberapa saja yang berhasil merebut hatinya. Selebihnya hanya berkahir
begitu saja entah karena apa.
Berbeda
dengan Fania, Arin sulit sekali menarik perhatian lawan jenisnya. Makanya
sampai ia saat ini pun ia belum memiliki pasangan layaknya teman-temannya. Ia
selalu saja mengikuti Fania. Beberapa orang berpikir bahwa Arin tidak mungkin
bisa mendapatkan pasangan jika masih bersama Fania kaena tidak akan ada yang
meiliriknya satupun. Namun hal itu tidak begitu membuat Arin memikirkannya. Ia
terus menggandeng Fania kemana-mana.
Sama
halnya dengan Arin, Fania juga tidak begitu memikirkan hal tersebut. Ia hanya
berpikir bahwa mungkin belum waktunya saja sahabatnya itu bertemu dengan
seseorang. Walaupun sering kali acara perjodohan yang dilakukannya gagal dengan
alasan yang akan dikenalkannya kepada Arin tiba-tiba saja mendekatinya dengan
maksud lain. Namun Fania masih tersu mencoba membantu sahabatnya itu menemukan
seseorang yang juga dicarinya selama ini.
Sore
itu Fania pulang lebih dulu karena dijemput mamahnya. Sementara Arin masih
menghadiri rapat OSIS untuk sebuah kegiatan sosial yang biasanya setiap tiga bulan
sekali diadakan. Kebetulan setelah pindah, Ibas juga langsung bergabung dalam
organisasi sekolah tersebut. Mereka duduk berdampingan sambil berfokus
mendengarkan ketua OSIS menjelaskan tentang konsep kegiatan. Melihat gerak
gerik Arin yang tampak gelisah membuat Ibas tidak bisa lagi menunggu rapat
selesai untuk bertanya.
“Kamu
kenapa?”
Arin
yang kaget mendengar seseorang berbisik tepat ditelinganya seketika berbalik
dan sontak mata mereka langsung bertemu. Arin terdiam begitupun Ibas. Mereka
begitu terkejut dan salah tingkah. Arin langsung menggeleng dan mengalihkan
kembali pandangannya dan perhatiannya. Ibas hanya mengaruk-garuk belakang
kepalanya.
Rapat
akhirnya selesai dan mereka segera keluar dari ruangan. Melihat Arin yang
buru-buru, Ibas langsung menarik tangannya dan menahannya beberapa saat.
“Kamu
kelihatan pucat, Rin,” katanya lagi.
“Gak
apa-apa Ibas,” jawab Arin pelan. Namun benar bahwa pucat di wajah Arin tidak
bisa disembunyikannya. “Aku pulang duluan yah,” tutup Arin yang mencoba
melepaskan tangan Ibas.
“Biar
aku antar pulang, Rin,” tambah Ibas lagi. Karena sudah hafal dengan kondisinya
sendiri bahwa saat ini ia sedang tidak dalam kondisi sehat, Arin pun mengiyakan
ajakan Ibas. Mereka akhirnya melaju dengan motor ninja merah milik Ibas menuju
rumah Arin. Arin semakin lemah ketika sampai di depan gerbang. Melihat kondisi
Arin, Ibas pun memapahnya sampai masuk dan membantu membaringkannya ke dalam
kamar.
Setelah
beberapa saat, dua orang asisten rumah tangga pun langsung menghampiri Arin dan
memeriksanya. Ibas menghamburkan
pandangannya ke dalam ruang kamar yang serba putih milik Arin tersebut. Ia
kemudian pamit untuk pulang karena merasa Arin sudah lebih aman dengan pengasuhnya
yang bernama bu Tatik.
Tidak
lama kemudian dengan nada cemas dari luar pintu Fania masuk dan langsung
memeriksa keadaan Arin dususul mamahnya yang baru juga sampai. Melihat Fania
yang sudah berlinang air mata, Arin hanya tersenyum lemas. Ia sangat hafal
bahwa sebentar lagi sahabatnya itu akan menangis sekencang-kencangnya jika ia
tidak hendak bangun dan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Seperti
itulah Fania. Dan karena itulah Arin tidak pernah merasa kehilangan kasih
sayang.
Hari-hari
berlalu, Arin semakin menyadari perasaan anehnya setiap kali berhadapan
langsung dengan Ibas. Entahlah, dadanya seketika sesak setiap kali dengan tidak
sengaja mereka berpas-pasan atau ketika Ibas tersenyum mengelus-elus rambutnya.
Apalagi ketika Ibas selalu memberikan perhatian-perehatian kecil seperti
menanyai keadaannya, mengantarnya pulang setelah rapat, bahkan mengajaknya
berjalan-jalan terlebih dahulu sebelum mereka sampai di rumah Arin.
Perasaan
minder Arin terhadap Fania pun sedikit terobati dengan hadirnya Ibas yang
selalu memilih bersamanya dibanding mengiyakan ajakan Fania. Untuk pertama
kalinya ada seseorang yang hanya melihatnya saja. Dan Arin benar-benar tidak
melewatkan kesempatan itu. ia juga mencoba menunjukkan perhatian-perhatian
kecilnya terhadap Ibas.
Rona
bahagia di wajah Arin ternyata cepat sekali tertangkap oleh Fania. Dengan
ekspresi mencurigakan dan disertai banyak tanda tanya yang sudah berjajar di
kepalanya, Fania langsung menanyai Arin ketika mereka sedang menunggu matahari
tenggelam sore itu. Kening Arin langsung berkerut melihat gelagat Fania.
“Ayo
jujur!” goda Fania. “Ada yang gak kamu certain kan?”
“Apa
sih, Fan?” jawab Arin yang terus memandangi langit sore dengan warna jingga
itu.
“Siapa?
Gimana orangnya?” tanya Fania terus
sambil menggoyang-goyangkan lengan Arin yang berada di sebelahnya. “Siapa,
siapa, siapa?”
Mendengar suara Fania yang berisik dan melengking itu,
Arin langsung bangun dan duduk dengan menopangkan badannya pada kedua
tangaannya ke belakang. “Tunggu yah, tunggu sebentar lagi,” ujar Arin pelan.
Fania yang terkejut langsung mengikuti Arin bangun. “Sekarang belum waktunya.”
Percakapan yang masih menggantug di bukit tersebut
membuat Fania sangat penasaran. Mengingat bahwa Arin hanya dekat dengannya dan
Ibas, Fania langsung menghubungi Ibas. Namun bukannya menanyakan apa yang ada
di kepalanya tentang Arin, Fania malah larut dalam percakapan yang menyenangkan
dengan Ibas. Berjam-jam sampai akhirnya Fania memutuskan untuk tidur lebih
dulu.
“Semalam bergadang lagi?” tanya Arin sambil mengunyah
roti kejunya. Fania hanya mengangguk lemas. Beberapa kali ia menguap dan
akhirnya tertidur di meja kantin. Arin hanya menggeleng melihat tingkah
sahabatnya itu. Entah apa lagi yang dikerjakannya. Telusuknya dalam hati.
Malam-malam berlalu dan komunikasi antara Fania dan Ibas
semakin akrab. Mereka masuk dalam percakapan yang sangat serius tentang masa
lalu dan lain sebagainya. Rona bahagia itu pun tergambar jelas di wajah Fania yang tiap hari sibuk
dengan telepon genggamnya walaupun di sekolah. Arin yang menangkap gelagat aneh
sahabatnya ini langsung menanyai cepat tanpa basa-basi.
“Kali ini yang mana, Fan?”
“Kayanya kita akan sama-sama saling ngenalin pasangat kita
deh,” jawab Fania tersipu.
“Serius?” tanya Arin yang disambut anggukan Fania yang
cepat. Mereka pun saling berpelukan meluapkan kegembiraannya.
Sudah biasa jika Fania harus pulang lebih dulu di rabu
sore karena Arin harus mengikuti rapat OSIS. Disela-sela rapat, Ibas memberikan
secarik kertas dan menyodorkannya pelan.
“Makan, yuk!”
tulisnya. Arin berbalik dan mengangguk sembari tersenyum menahan gemuruh
kebahagiaan yang seperti berlomba hendak keluar dari dalam dadanya.
Akhirnya rapat pun selesai dan mereka pun berlalu
menjelajahi kota mencari tempat yang belum mereka kunjungi untuk sekedar mengisi
ruang hampa di dalam perut. Dan setelah berputar-putar, tempat yang dituju pun
sudah di depan mata. Sambil menunggu pesanan mereka datang, obrolan pun dimulai
dengan sangat nyaman. Mereka tertawa, serius, lalu tertawa lagi. Seperti itu
sampai mereka tidak menyadari telah menghabiskan makanan yang disajikan. Mereka
saling menatap dan tertawa lepas.
“Kalian dekat banget yah?” tanya Ibas tiba-tiba. Arin hanya
diam mendengar pertanyaan Ibas itu. “Iya, kamu sama Fania. Sudah berapa lama?”
“Udah lama banget, Bas. Sejak SD kelas 2 sih lebih
tepatnya,” jawab Arin sembari menghaduk-adukkan minumannya. “Orang tua aku tuh
sibuk, dan saat penerimaan rapor aku hanya sama pengasuhku, bu Tatik. Aku
ngambek dan tiba-tiba ada yang meluk aku dari belakang. Ternyatanya mamah
Fania,” jelas Arin sambil berkaca-kaca.
“Wah, kaya di sinetron-sinetron yah,” Ibas terkekeh.
Lamunan Arin pun tentang masa-masa bahagianya bersama Fania dan keluarga pun
buyar. “Fania itu anaknya gimana?” sambungnya lagi.
“Fania? Dia manja banget, cengeng banget, tapi baiknya
juga baik banget. Aku beruntung aja bisa jadi sahabatnya,” tutur Arin. “Dengan
pesonanya yang luar biasa itu, dia bisa bikin orang klepek-klepek, tapi
sebenarnya hatinya juga rapuh.”
“Rapuh?”
Arin mengangguk pelan. “Kamu juga nanti akan tahu kalau
sudah lama kenal. Dan kalau sudah lama kenal, kamu pasti nemuin alasan gak bisa
lepas dia dalam hidup kamu,” tutup Arin. Nampaknya memang Arin sudah mengenal
jauh sosok Fania. Ia menceritakan semua hal tentang Fania tanpa komando Ibas.
Ibas pun mendengarkan tanpa lelah. Begitulah Arin. Setiap ditanya tentang
Fania, maka waktu 24 jam pun terasa kurang baginya untuk mendeskripsikan sosok
Fania, sahabat yang seperti malaikat baginya.
Sejak makan malam itu, mereka pun lebih sering
menghabiskan waktu berdua ketika rapat selesai. Sampai Fania merasa bahwa waktu
Arin untuknya pun berkurang. Denga boneka teddy bearnya yang besar, ia masuk ke
kamar Arin dan bermaksud menanyakan alasannya. Namun, ia terkejut melihat Arin
tengah berkemas.
“Loh, ada apa nih?” tanya Fania terkejut dan langsung
menghampiri Arin.
“Gak ada apa-apa barbieku,” jawab Arin santai sambil
terus mengepak baju-bajunya masuk ke dalam koper. “Aku jadi utusan OSIS ke Bandung
untuk pertukaran pelajar disana. Kamu baik-bik disini yah,” goda Arin.
“Kamu kok baru bilang sekarang? Terus kenapa mau? Terus aku gimana? Kalo ada yang jahat, nanti yang
bantuin aku siapa?” Fania terus saja bertanya.
“Maaf deh, aku
sibuk banget. Kamu kan juga lagi sibuk kemarin untuk persiapan lomba balet
kan?” jawab Arin. “Kalau ada yang jahatin kamu, kamu videoin aja terus kirim ke
aku, pas nanti pulang lihat aja,” tambah Arin menghibur. Mata Fania yang sudah
menahan genangan air yang akan segera jatuh itu meluluhkan Arin. Arin langsung
memeluk sahabatnya itu. “Dasar cengeng,” goda Arin.
Hari-hari tanpa Arin benar-benar membosankan bagi Fania.
Ia tampak murung dan hanya duduk diam di kelas. Melihat hal itu, Ibas langsung
mengambil inisiatif untuk menghibur. Tanpa persetujuan Fania, Ibas langsung
saja menarik tangannya untuk keluar. Fania yang terkejut langsung melepaskan
tangan Ibas.
“Kamu mau ngapain?”
“Mau ngajak kamu main,” jawab Ibas sambil terkekeh.
“Udah, ayo!”
Tiga hari tanpa Arin, Ibas berubah menjadi sosok yang
sangat membantu Fania melakukan banyak hal yang biasanya dilakukan Arin
untuknya. Mereka jauh lebih akrab. Bahkan setelah bersama sepanjang hari di
sekolah, mereka pun masih berbincang-bincang lewat telepon berjam-jam. Sesekali
Ibas mengajak Fania makan malam atau sekedar menghabiskna waktu berdua.
“Café nya bagus, Bas. Udah sering kesini yah?” tanya
Fania sambil memperbaiki posisi duduknya. Ibas hanya tersenyum sambil memberi
kode kepada pelayan untuk memberikan mereka menu. Sembari menunggu pesanan
datang, mereka pun larut dalam obrolan yang tiada habisnya. Sampai tiba-tiba
Fania teringat lagi kepada Arin yang akhir-akhir ini tidak bisa dihubungi.
“Ada apa Fan?” tanya Ibas yang bingung melihat Fania
mendadak diam.
“Aku rindu Arin. Dia lagi apa yah?”
“Paling dia lagi sibuk menyesuaikan diri di sana. Gak
usah khawatir. Kamu kaya gak kenal Arin aja,” hibur Ibas. Lamunan Fania pun
buyar. Begitu pula rasa khawatirnya. Memang benar bahwa Arin bisa menjaga
dirinya jauh lebih baik disana. “Kalian bisa sedekat ini karena apa, Fan?”
tanya Ibas basa-basi.
Fania mengerutkan keningnya terkejut dengan pertanyaan
Ibas itu. namun seperti yang dilakukan Arin, Fania pun langsung bercerita tanpa
henti tentang bagaimana ia bisa berkenalan dengan Arin dan menjadi seperti
kakak perempuan baginya yang menjaga dan memanjakannya. Suasana hati Fania
mendadak berubah menjadi lebih bahagia ketika bercerita tentang Arin. Banyak
sekali yang membuatnya kagum, terutama ketika Arin harus banyak mengalah
deminya. Arin menurutnya adalah ibu peri yang dititipkan Tuhan untuknya.
Dengan seksama Ibas mendengarkan cerita Fania. Namun
pandangan Ibas berhenti di mata Fania. Fania yang baru menyadari itu langsung
terdiam. Ia menebak-nebak apa yang dipikirkan Ibas.
“Bas?” tanya Fania mencoba membuyarkan lamunan Ibas. “Ada
yang salah?” Ibas hanya menggeleng sambil tersipu. Tiba-tiba ia menjadi salah
tingkah dan mengatakan akan ke toilet.
Selagi menunggu Ibas ke toilet, Fania membuka kunci
handphonenya. Ia menatap lama layar wallpaper dengan foto dia dan Arin di
bukit. Betapa kerinduan sudah meggebu-gebu dalam benaknya ketika mengingat
tentang Arin. Namun tidak lama kemudian ada panggilan masuk dengan nama Arin
yang tertulis dilayar. Dengan cepat
Fania mengangkatnya dan seketika itu ia tidak bisa lagi menahan air matanya.
“Jahat, jahat. Di telpon gak pernah aktif, di sms juga gak
pernah bales. Jahat!” rengek Fania. Terdengar suara Arin yang terkekeh dibalik
telepon. “Kapan Pulang?”
“Iyah, maaf. Besok aku balik dan aku pengen ngasih tau
kamu seseorang yang kita ceritain di bukit itu,” ujar Arin.
“Serius? Sekarang udah waktunya aku tahu? Sip. Aku gak
sabar nunggu besok…” belum sempat Fania melanjutkan kalimatnya, dari belakang
Ibas berjalan dan menghampiri Fania langsung berlutut di depannya dengan
membawa seikat bunga mawar kesukaan Fania.
“I love you Fania. Bisakah kita menjadi lebih dari ini?”
tanya Ibas. Fania terkejut sekali
“Ibas..”
Ia tidak mengerti apa yang dilakukan Ibas kali ini. Dengan handphone yang masih
terhubung dengan Arin, Fania hanya bisa diam. Arin pun terkejut. Tangannya
gemetaran. Jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Sendi-sendi kakinya
seakan melemah semua. Ia pun terjatuh begitu saja. Sementara itu handphonenya
entah kemana.
Dunianya
seakan runtuh seketika itu. seseorang yang disukainya, seseorang yang ingin
dikenalkannya kepada Fania, seseorang yang dianggapnya lebih, ternyata hanyalah
gambaran fatamorgana yang saat ini membentang dan mengisi ruang kamar hotel
tempatnya menginap selama seminggu di Bandung itu. Arin menjadi sangat panik,
rasa sakit, sedih dan entah rasa apalagi kini membekukan air matanya.
Satu-satunya yang melihatnya selama ini pada akhirnya berpaling dan
terperangkap ke hati sahabatnya.
Semalaman
suntuk Arin hanya duduk terdiam di balkon hotel. Cinta pertamanya begitu
dramatis berakhir tanpa pernah dinyatakannya. Namun lebih dari itu, perasaan
iri yang ditampiknya selama ini terhadap Fania pelan-pelan keluar memenuhi rongga
dadanya. Menyesakkannya seketika. Ia pun kembali menangis. Ucapan demi ucapan
teman-temannya yang mengatakan bahwa Fania nomor satu dan Arin hanyalah
pengikut mulai membayanginya. Apakah benar, tidak pantaskah aku, diulang-ulang
Arin sampai subuh akhirnya menyapa kota kembang itu.
Arin
masih betah duduk dan membaur bersama embun yang membasahkan sebagian dari
pakaiannya. Mukanya pucat, namun pikirannya masih bersama Fania si nomor satu. Kemudian
ia masuk dan merebahkan badannya. Entah kemana perginya rasa kantuknya. Ia
terus saja bergelayut dengan pikiran-pikiran negatif tentang dirinya sendiri.
Tentang ketidak pantasannya dibanding Fania yang memiliki segalanya. Bahkan
cinta pertamanya pun terpesona pada Fania.
Sementara
itu, pagi-pagi sekali Fania sudah berada di rumah Arin dan meminta bantuan bu
Tatik untuk membuatkan makanan-makanan kesukaan Arin. Setelah semua selesai,
Fania kemudian menuju teras rumah dan mengambil posisi di kursi taman yang
tidak jauh dari pagar. Mondar-mandir sudah
sejam Fania menunggu Arin yang tidak kunjung datang. Sesekali ia keluar ke luar
pagar untuk sekedar mengecek dan menunggu lagi. Bahkan sudah lewat pukul tiga
sore belum juga ada tanda-tanda Arin akan pulang. Handphonenya pun juga tidak
aktif.
Melihat
kegelisahan Fania, bu Tatik langsung menyuruhnya untuk menunggu di kamar Arin
terlebih dahulu. Fania pun mengikut. Ia menunggu dan tidak sengaja tertidur.
Dan ketika terbangun jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Fania berlari
melihat apakah Arin sudah pulang dan ternyata belum juga ada kabar. Fania
semakin khawatir. Begitupun bu Tatik. Namun, tidak lama kemudian suara telepon
berbunyi. Bu Tatik dengan sigap mengangkatnya dan disana sudah tersambung mamah
Arin yang mengatakan bahwa hari ini Arin meninggalkan Indonesia untuk keluar
negeri.
Menceritakan
hal itu kepada Fania, air mata Fania tidak bisa lagi tertahankan. Ia membuang
boneka teddy bear pemberian Arin untuknya dan berlari menuju rumahnya.
Semalaman ia menangis karena kekecewaannya terhadap Arin yang pergi begitu
saja.
Sejak
saat itulah tidak ada lagi kabar tentang Arin. Tidak ada kontak yang bisa
dihubungi Fania. Terakhir setelah menelepon orang tua Arin mereka mengatakan
bahwa Arin memang ke luar negeri tapi tidak bersama mereka. Begitulah Arin
dengan kehidupannya yang bebas. Orang tuanya pun mendukung karena kesibukan
yang tidak mungkin untuk mengurusinya. Bertahun-tahun, malam itulah untuk
terakhir kalianya Fania dapat mendengar tawa kecil ibu perinya itu. bahkan
sampai hari ini pun ketika mengingat itu, Fania masih sering menangisinya
semalaman.
Sudah
5 tahun berlalu, belum juga ada kabar dari Arin. Entah bagaimana saat ini wujud
Arin, namun Fania akhirnya berhasil menjadi model seperti keinginannya yang
diucapkannya dulu. Setelah memenangkan kontes kecantikan, dengan piala yang
masih dipeganginya Fania mengunjungi rumah Arin. Ia berjalan menyusuri kamar
Arin yang masih seperti dulu. Tapi entah mengapa, kali ini Fania ingin
benar-benar menemukan alasan mengapa Arin tiba-tiba pergi. Mungkin jawabannya
ada disini, telusuknya dalam hati.
Ia
pun segera mencari apapun yang bisa dicarinya. Ia membongkar semua
barang-barang Arin dan akhirnya berenti pada sebuah catatan harian berwarna
coklat itu. tidak apa untuk kali ini, pikirnya. Ia pun mulai membuka buku
harian tersebut. Pada halaman awal ada foto mereka ketika di bukit dan
cerita-ceira kecil tentangnya.
Dengan
foto centil ala Fania, Arin menuliskan kebahagiannya disitu. “Sahabat terbaik untuk selamanya. Dia dengan
suaranya yang melengking yang memecah keheningan dalam hidupku yang kosong.
Karena sahabat sepertinya, Arin yang sekarang tumbuh dengan penuh kasih sayang.
Jangan sampai sakit anak mamih,kamu rewel banget kalau sakit,” tulis Arin.
Di lembar berikutnya juga tentang foto-foto mereka dibeberapa tempat yang
mereka pernah kunjungi. Air mata Fania pun pecah seiring kalimat-kalimat yang
dituliskan Arin tentangnya. Bahwa ia tidak salah telah merindukan sahabat
terbaik seperti Arin.
Dan
sampai pada sebuah tulisan yang membuat Fania berhenti lama untuk berpikir
sejenak. “Pratama Ibas Syahputra.”
Dilembar kosong dan bersih itu hanya ada satu kalimat yang beruliskan nama
panjang Ibas. Teman mereka ketika sekolah dulu. Fania menyeka airmatanya dan
membuka lembaran berikutnya. Dan seketika itu seluruh kekuatannya seakan
menghilang setelah menemui tulisan yang menjadi bagian terakhir dari cerita
Arin.
“Andai aku adalah Fania, mungkin
akan lebin mudah untuk menarik perhatian Ibas dan menyatakan perasaanku
padanya. Karena aku tidak meiliki seseuatu seperti itu, maka selama ke Bandung
akan ku kumpulkan semua kebernaianku. Dan aku juga akan menyatakannya setelah
semua ini selesai. Ehehehehe, gak sabar ngelihat ekspresi Fania kalau denger
cerita ini. Bintang, tolonglah beri kekuatan untukku.”
Fania
tersentak. Ia mengingat betul bahwa malam ketika ia sedang berbicara dengan
Arin tiba-tiba Ibas mengungkapkan perasaannya.
Fania menjadi sangat bingung. Rasa bersalahnya, rasa kecewanya terhadap
dirinya sendiri, rasa marahnya karena tidak mengetahui perasaan sahabatnya
membuatnya sangat frustasi. Ia kemudian pergi meniggalkan kamar Arin sambil
terus menangis. Ia benar-benar menyalahkan dirinya sendiri.
Fania
menghabiskan waktunya dengan menatap matahari senja dari balkon kamarnya. Sabtu sore dengan matahari seperti ini, apa
sekarang kamu juga sedang ngeliat ini, Rin? tanyanya dalam hati. Air
matanya kembali bercucuran deras sekali tanpa komando. Kerinduannya terhadap
Arin benar-benar tidak bisa tertolong lagi kali ini.
Selanjutnya
hari-hari berjalan seperti biasa. Sayangnya, penyesalan Fania ternyata semakin
mendalam. Ia terus saja murung dan hanya bicara jika diajak bicara, bahkan
bergerak pun hanya ketika disuruh bergerak. Setelah mengurung diri di dalam
kamar selama tiga hari, akhirnya manajemennya berinisiatif menyuruhnya untuk
mengunjungi seorang designer yang akan menggunakannnya sebagai model dalam peluncuran
baju-baju hasil karyanya. Dengan model diam seribu bahasa khas Fania ketika
sedih, ia berjalan menuju kantor designer tersebut. Menurut manajernya,
designer tersebut adalah orang asli Indonesia yang bersekolah ke luar negeri.
Sayangnya
Fania tidak berhasil menemuinya. Ia hanya ditemani oleh asisten sang designer
untuk berlenggak-lenggok di catwalk dengan mencoba beberapa baju. Tiga jam
sudah Fania beserta model-model lainnya berlatih dan akhirnya ia memutuskan
untuk pulang lebih dulu tanpa menunggu si designer itu lagi. Di mobil yang
dikendarai supir pribadinya, Fania hanya diam. Sesekali ia menyeka air matanya
entah bersedih karena apa. Hanya saja yang ingin dilakukannya saat ini adalah
menemukan Arin, memeluknya dan menjelaskan semuanya.
Dan
ketika mobilnya hampir melewati bukit yang biasa dikunjunginya bersama Arin, ia
melihat ada orang yang berdiri disana. Fania langsung mengarahkan supirnya
untuk segera berhenti. Entah itu Arin atau orang lain, namun Fania sangat
berharap bahwa orang itu adalah sahabatnya. Fania berlari cepat sekali mendaki
bukit. Ia tidak mau kehilangan Arin lagi saat ini. Harapannya begitu tinggi.
Namun, setelah sampai di atas bukit, ia tidak melihat siapapun. Tidak ada Arin
bahkan orang yang dikirinya Arin itu.
Fania
semakin frustasi. Dadanya dipenuhi rasa sesal yang seakan ingin memuntahkannya
segera semua isinya. Ia menangis teisak, terbata-bata menyebut nama Arin.
Suaranya bahkan tidak terdengar sama sekali ketika memanggil-manggil nama Arin.
“A..riiin,”
panggilnya. “ARIIIIIIN!!!” kali ini dengan suara melengkingnya. Hanya ada
jawaban dari suaranya yang menggema. Fania benar-benar putus asa kali ini.
Matanya sudah sangat sembab. Ia pun memutuskan untuk pulang. Dan ketika ia
berbalik…
“Aakh!”
kata Fania refleks. Seikat bunga liar yang biasanya dia dan Arin kumpulkan tiap
kali ke bukit ini mengenai kepalanya. Dengan wajah kesal namun sedih ia pun
berbalik. Air matanya langsung keluar semua, tumpah tanpa menunggu Fania
menyekanya. Melihat Arin yang saat ini berdiri di hadapannya membuat seribu
pertanyaannya, kekesalan dan kerinduannya memuncak. Tapi entahlah, seketika itu
ia seperti kehilangan kekuatanya. Ia hanya diam dan menangis sejadi-jadinya ala
Fania.
Arin
pun seperti itu. badannya seakan gemetar melihat sahabat yang dirinduinya itu
ada di hadapannya saat ini. Ia kemudian berjalan dengan cepat lalu memeluk
Fania. Luapan rindu yang dibatasi oleh kemarahannya ketika remaja dulu
benar-benar ditumpakan Arin. Begitupun Fania.
“Maaf,
Fan. Aku pergi gitu aja,” kata Arin membuka perbincangan.
Fania
menggeleng sambil menyeka air matanya. “Enggak, Rin. Aku yang salah. Selama ini
kamu selalu tahu tentang aku. Tapi aku?” ujar Fania menyalahkan dirinya. “Aku
emang bukan sahabat yang baik. Aku yang salah, Rin.”
Arin
tersenyum dan mengambil posisi berbaring memandang langit yang mulai menjingga.
“Beberapa tahun yang lalu aku hanya fokus dengan rasa iri ke kamu. Aku lupa
udah nerima banyak hal dari kamu,” tambah Arin dengan bibir yang bergetar.
“Hidup sendirian ternyata gak enak, Fan. Setidaknya dulu masih ada kamu, orang
tua kamu, bu Tatik. Setidaknya dulu ada yang selalu dukung aku apapun yang
terjadi.”
Fania
yang mendengar itu tersenyum dan menoleh ke Arin. Ia pun ikut berbaring
disebelah Arin dan ikut pula memandang hamparan langit yang luas tanpa batas
itu.
“Aku
gak pernah jadian sama Ibas, Rin. Kamu tahu kan yang seperti dia bukan tipe
untuk seorang Fania?” goda Fania. “Malam itu juga aku nolak Ibas, Rin. Aku diam
karena aku bingung saat itu,” tambah Fania. “Dan setelah itu kita hanya
temenan.”
“Hahaha,”
suara Arin terkekeh mengingat kejadian yang dulu-dulu. “Sekarang Ibas dimana
yah?”
Fania
terkejut mendengar pertanyaan Arin. “Kamu masih???”
“Enggak
lah!” bantah Arin cepat. Mereka pun saling memandang dan tertawa lepas sekali.
Persis ketika mereka masih memakai seragam
beberapa tahun yang lalu. Tahun-tahun yang menguji ketulusan dua sahabat
ini akhirnya dapat mereka lalui.
Arin
kini menjadi designer seperti cita-citanya dulu. Fania pun turut membantu
menjadi model dalam beberapa kali show yang dibuat Arin. Setelah bekerja,
mereka biasanya menghabiskan waktu berdua mengunjungi tempat-tempat yang dulu
pernah dikunjungi. Berbincang tentang pengalaman satu sama lain seperti
membayar masa-masa yang terbuang bgitu saja karena kesalahpahaman dimasa
remaja. Waktu terasa singkat ketika mereka bersama. Kali ini mereka berjanji
untuk tidak lagi memendam apapun yang mereka rasakan. Sehingga tidak perlu lagi
ada yang pergi.
Waktu
sudah menunjukkan pukul 04;30 pagi. Fania yang kebetulan hari itu menginap di
rumah Arin bercerita tanpa putus tentang pengalamannya menjadi model. Sampai
akhirnya mata sipitnya itu sudah tidak mampuh lagi dibukanya. Arin hanya
tersenyum. Arin kemudian memperbaiki selimut Fania dan selanjutnya juga ikut
tertidur.