Setelah
menghadiri sebuah seminar dimana aku menjadi salah satu peembicara dalam acara yang
digalakan para mahasiswa itu, langsung saja dengan tergesa-gesa aku mencari
dimana toilet kampus yang terkenal dengan gedungnya yang luas itu. Dengan
meminta bantuan beberapa mahasiswa yang tidak sengaja ku temui di luar,
akhirnya aku menemukannya. Tidak tunggu lama langsung ku muntahkan saja semua
isi dalam perutku. Kemudian setelah menunggu beberapa saat dan merasa lebih
baik, ku telepon pak Pardi supir pribadiku untuk menjemputku segera.
“Mbak, ke rumah
sakit aja yah,” kata pak Pardi yang melihatku lemas bersandar di kursi
belakang. Keadaanku seperti ini memang sudah biasa ku tampik dan ku acuhkan.
Tapi kali ini aku benar-benar merasa tidak sanggup. Rasa nyari dibagian perutku
benar-benar tidak seperti sakit yang biasanya ku rasa. Langsung saja tanpa menunggu
jawabanku pak Pardi mengarahkan mobil menuju rumah sakit terdekat.
Setelah
mendapatkan ruangan, rasa nyeri diperutku semakin menjadi. Air mataku sudah tidak
keluar lagi, begitupun suaraku. Aku hanya bisa terpejam sambil memegangi
perutku. Masih sempat ku dengar beberapa suster melaporkan hasil pemeriksaan
mereka pada dokter bahwa maagku yang kambuh. Setelah itu aku benar-benar tidak
bisa mendengar apapun lagi.
….
Beberapa saat
kemuadian akupun terbangung setelah menghabis beberapa jam tertidur pulas.
Mataku kesana kemari mencari pak Supri tapi tidak ada. Dan ketika aku menoleh
keluar jendela mataku berhenti pada sebuah memo yang ditingalkan di atas meja
dekat ranjangku saat itu. langsung saja ku ambil dan ku baca.
“Cepat sembuh, Hani.” Tanpa meninggalkan
nama atau petunjuk apapun. Ku putar kembali ingatanku untuk menebak siapa yang
menulis memo ini. Namun, tidak ada yang memanggilku Hani selama ini kecuali… Bibirku
keluh dan tanganku mulai berkeringat. “Dewa,” kataku bersemangat. “Iya, Dewa.”
Hanya dia yang memanggilku Hani, karena menurutnya nama Hanindia begitu rumit
diucapkan.
Ku lihat pak
Pardi masuk membawa laptop, handphone dan pakaian gantiku. Ia terkejut
melihatku sudah duduk sambil cengengesan.
“Loh, Mbak, ada
apa?”
“Pak Pardi, tadi
selain suster sama dokter ada siapa lagi?”
Pak Pardi
sedikit tertegun. Dengan keningnya yang berkerut ia menggeleng dan mengatakan
bahwa tidak ada orang lain selain dia, dua orang suster dan seorang dokter.
“Belum ada yang tahu Mbak Hanindia masuk rumah sakit,” tambahnya. Raut wajahku
langsung berubah mendengar penuturan pak Pardi, supir setiaku itu. “Ada apa
Mbak?” Aku hanya menggeleng dan merebahkan kembali badanku sambil menutupi
seluruh tubuhku dengan selimut.
….
Demi mengusir
kejenuhanku, ku buka kembali leptop kesayanganku itu dan ku lihat beberpa
tulisan yang belum sempat ku selesaikan. Maklumlah, sebagai seorang penulis
dateline adalah yang mengerikan dan tidak ada alasan untuk menundanya. Jadi
sembari berbaring, ku selesaikan beberap paragraf yang bisa ku selesaikan.
Sesaat kemudian ku lihat dua suster masuk dan membawa peralatannya. “Diperiksa
dulu, mbak Hanindia,” kata salah satu dari mereka dengan ramah. Aku hanya
mengangguk dan menaruh leptopku di atas meja samping ranjang.
“Suster,
kira-kira kapan yah saya bisa keluar?” tanyaku penasaran mengingat cafe yang
harus ku urusi. Belum sempat suster yang ku tanya itu menjawab, seseorang
dengan jas putihnya memasuki ruanga dan mengambil alih tugas suster dengan
cepat.
“Sore ini bisa
pulang kalau pasiennya nurut buat istirahat,” katanya sembari sesekali
melirikku. Mendadak hening yang ada di ruangan. Kedua suster itu pun juga hanya
saling melirik satu sama lain. Ku lihat lagi lekat-lekat seseorang yang sedang
memeriksa tensi darahku itu. Dan ternyata ketiaka ia membalasku dengan menatap,
langsung seketika itu aku mengenalinya.
“Dewa!!!”
“Dewa! Iya kan
Dewa?” tanyaku terus. Ku lihat anggukannya yang masih saja mengagumkan.
Langsung ku peluk teman kecilku itu. ia pun membalasnya. Sontak hari itu
menjadi hari reunian mendadak kami. Yah walaupun Dewa adalah seniorku satu
tahun, namun kami selalu ada di sekolah yang sama sejak Sekolah Dasar sampai
SMA. Barulah ketika ia memutuskan untuk keluar kota tidak ada lagi kontak yang
tersedia. Benar bahwa aku pernah mendengarnya menjadi seorang dokter, namun aku
tidak menyangka bahwa ia bertugas di kota ini.
Kami tidak bisa
mengobrol lebih lama karena ia harus melanjutkan lagi pekerjaannya. Dia
mengisyaratkanku untuk melepas sementara kegiatanku bersama leptopku itu dengan
lirikan matanya dan telunjuknya yang megarah pada leptop dan telepon genggam di
samping ranjangku. Aku hanya mengangguk dan ia pun berjalan meninggalkan
ruanganku. Ku lirik pak Pardi yang cengengesan melihatku curiga. Aku hanya
tersenyum geli dan kembali berbaring.
….
Dewa adalah
semua alasan yang terjadi di dalam hidupku sampai saat ini. Ia Selain baik, ia
juga terkenal karena kecerdasannya sewaktu sekolah dulu. Beberapa kali menjadi
ketua OSIS sewaktu SMP dan SMA dan aku menjadi bagian di dalamnya. Tidak bisa
ku pastikan jelas kapan dan bagaimana awalnya kami mulai dekat. Namun, dengan
seringnya mengikuti organisasi yang sama sewaktu itu, kami menjadi sering
bertukar pikiran dan mengembangkan ide-ide untuk organisasi kami. Karena seringnya kami
mengikuti kegiatan di waktu sekolah, beberapa dari kami sampai harus membawa
buku pelajaran untuk dipelajari kembali. Dan karena Dewa merupakan kakak kelas satu
tahun diatasku, aku menjadi lebih mudah untuk bertanya. Dia pun tidak keberatan
menjelaskannya padaku.
Hal itu
berlanjut ketika aku memasuki jenjang menengah dimana Dewa sangat membantuku
banyak hal. Kami pun menjadi semakin dekat. Meskipun tidak searah, ia kadang
menjemput dan mengantarku pulang. Selain itu ia juga sering mengajakku untuk
melihat acara-acara yang diadakan sekolah. Sampai pada saat kami menikmati
makan siang di kantin sekolah, ia menatapku lekat dan mengalihkannya lagi.
“Ada apa?” tanyaku
penasaran. Ia menggeleng dan hanya tersenyum. “Ih, kenapa sih?” tanyaku semakin
penasaran sambil menggoyang-goyangkan tangannya.
“Aku udah daftar
di fakaultas kedokteran,” jawabnya dengan mata berbinar-binar. Aku sudah yakin
bahwa itu adalah pilihan terbaiknya. Aku pun begitu senang. “Kamu harus belajar
yang bener, biar bisa bareng aku nanti,” celotehnya.
Aku langsung
terdiam. Apakah Dewa menginginkanku untuk terus mengikutinya, atau hanya ucapan
biasa yang tidak sengaja dilontarkannya. Meskipun aku juga memiliki niat untuk
menjadi seorang dokter, namun aku tidak begitu memiliki keyakinan menjalaninya.
Aku hanya senyam senyum sembari melahap makan siangku. Entah mungkin karena
terlalu seringnya kami bersama sehingga mendengar kalimatnya itu aku merasakan
sesuatu yang berbeda. Mungkin hanya perasaanku atau mungkin juga tidak. Namun sepertnya
semakin hari perasaanku semakin berkembang pula.
….
Jika mengingat
kejadian itu, kadang karena aku bukanlah seorang dokter hari ini aku menjadi
takut berhadapan dengannya. Hari itu entah mengapa aku seperti mendengar
permintaannya yang sungguh-sungguh. Dengan terus membayangkan akan terus
bersamanya, aku mati-matian mengejar ketertinggalanku dan berusaha untuk bisa
lolos dan masuk di fakultas tersebut. Selain alasan tersebut, aku juga tidak
ingin berada jauh dari Dewa ketika itu.
Salah satu hal
yang selalu ku ingat dan menjadi penyemangatku ketika itu adalah dihari
kelulusannya dan keberhasilannya lolos menjadi salah satu mahasiswa kedokteran,
ia mengajakku makan malam sebelum akhirnya harus pergi ke luar kota tempatnya
melanjutkan kuliah. Masih jelas diingatanku bagaimana ia begitu bahagia.
Tanganku digenggamnya sepanjang perjalan denga begitu erat. Tidak lepas
senyumnya malam itu. Hah, perasaanku pun juga ikut melayang kemana-mana.
“Kamu pasti
bisa,” katanya sembari mengacak-acakkan rambutku seperti anak kecil. Aku hanya
tersenyum. “Aku tunggu kamu disana, yah,” tutupnya
“Doain aku,”
kataku pelan. “Aku jadi gugup banget.” Ia hanya mengangguk dengan yakin. Dan
sebelum pulang, aku memberikan sebuah hadiah. “Nanti aja bukanya.”
Ia melihatku
sekali lagi. Dan dengan gerakan yang sangat cepat, ia mengecup rambutku. Untuk
pertama kalinya bagi kami, dan itu terjadi begitu saja. Pipiku memerah dan Dewa
pun terlihat sangat salah tingkah. Senyum kami tidak bisa lagi tertahankan. Ingin
sekali rasanya ku nyatakan saja perasaanku, namun aku masih merasa belum pantas
untuk seorang Dewa. Aku belum menjadi apapun, pikirku.
….
Suatu hari
terburuk dimana aku kehilangan segalanya pun terjadi dimana beberapa tahun lalu
ketika aku mengetahui kegagalanku masuk ujian perguruan tinggi. Aku menjadi
sangat bingung, apa yang harus ku lakukan, dia pasti telah menungguku, pikirku
dalam hati. Kami sudah saling tidak memberi kabar setelah malam itu dan aku
berharap setelah pengumuman aku akan menghubunginya. Namun, semua yang ku
rencanakan memecah satu-satu.
Aku semakin malu
untuk menghubunginya. Dan setelah berpikir beberapa hari, akhirnya ku putuskan
untuk keluar kota dan memulai sesuatu yang baru disana, tempat dimana aku tidak
akan menunjukkan wajahku kepada Dewa. Setelah mendapat persetujuan orang tua,
satu-satunya tempat yang terintas dibenakku ketika itu adalah Yogyakarta. Aku
mengganti nomor telepon dan menonaktifkan semua akun yang berhubungan dengan
Dewa. Aku benar-benar ingin memulai yang baru, tekatku.
Disinilah
hidupku benar-benar menjadi berubah. Aku menemukan banyak hal disini. Apa yang
aku inginkan. Dan dari semua pencarianku yag paling mengagumkan adalah aku
menemukan tujuanku. Pelan-pelan ku bangun dari menjadi seorang penulis amatiran
yang mengirimkan tulisan-tulisannya disemua website yang menyediakan forum bagi
penulis pemula sepertiku sampai menjadi aku yang seperti saat ini. Tidak
berhenti disitu, karena kegemaranku mencari tempat tongkrongan ketika kuliah
dulu, akupun mewujudkannya sekarang dengan membuka sebuah café dimana semua
anak-anak muda bisa menggunakannya untuk berdiskusi, mengerjakan tugas, ataupun
dijadikan pilihan untuk ngedate. Dan inspirasi penulisanku pun bisa keluar jika
sudah duduk di café yang susah payah ku cari modalnya itu.
Dengan semua hal
yang sudah ku lakukan sampai hari ini, kesedihanku karena gagal menjadi seorang
dokter sudah bisa ku obati. Rasa kecewa yang tidak ditunjukkan orang tuaku
karena kejadian beberapa tahun yang lalu itu pun sepertinya sudah terbayarkan
dengan pencapaian yang bisa mereka lihat dan rasakan hasilnya itu. Aku merasa
lebih hidup saat ini. Menikmati pekerjaan yang benar-benar ku sukai.
Namun,
pertemuanku bersama Dewa benar-benar membuatku gugup. Aku sudah menghilang
begitu saja tanpa memberinya kabar, sejujurnya aku merasa bersalah.
….
Dibantu pak
Pardi dan bu Ina, istrinya, semua barang-barangku pun sudah rapih. Suster pun
telah datang untuk memberikan pemeriksaan yang terakhir. Namun kali ini, dia…
Dewa tidak ada.
“Suster, dokter
Dewa…”
“Dokter Dewa
masih ada urusan mbak,” sela si suster dengan ramah. Aku hanya mengangguk lesu
mendengar jawaban suster itu. Terlintas dipikiranku tentang dia. Bagaimana bisa
dia tidak mengunjungiku, pikirku menyeletuk dalam hati. Dan setelah semuanya
selesai, kami pun meninggalkan rumah sakit. Perasaan kesal dan berbagai
pertanyaan sudah membentang sana-sini di otakku dalam perjalanan pulang.
Beberapa hari
setelah keluar dari rumah sakit, aku memulai aktivitas seperti biasnya. Namun
kali ini aku disibukkan dengan rencana pembukaan butik yang isinya adalah hasil
dari rancanganku sendiri. Mimpi yang sejak lama ku bayangkan itu masih dalam
pengerjaan untuk diwujudkan. Aku mulai kesana-kemari mencari tempat, bernego
harga sewa, lalu mencari bahan-bahan kain yang berkualitas. Dan setelah
seharian berkeliling ditemani pak Pardi, ku putuskan untuk menulis sebentar di
café sambil melihat perkembangan omsetnya.
Sambil terus
memeriksa laporan keuangannya aku tidak sadar seseorang telah duduk di depanku.
Ia tersenyum melihat keterkejutanku. Belum sempat berkata apapun, ia langsung
menyodorkan buku perdana yang ku tulis.
“Ini asli, loh.
Jadi kamu harus ngasih tanda tangan untuk penggemarmu ini,” katanya
cengengesan. Aku masih terkejut, namun raut wajah Dewa yang teduh itu membuat
senyumku cepat sekali mengembang. Ku ambil buku dan merogoh isi tasku untuk
mencari pulpen. Sejurus kemudian ia menyodorkan sebuah pulpen yang tidak asing
menurutku. “Nih,” katanya. Aku meraih pulpen itu dan melihatnya sekali lagi.
Benar-benar ini mengejutkan, pikirku. Ia masih menyimpannya.
“Ini kan..”
tanyaku terputus melihat anggukan Dewa. “Kamu masih simpan?” sekali lagi ia
hanya mengangguk.
“Pulpen kamu
udah ngobatin banyak orang, Han,” katanya. Seketika raut wajah Dewa pun mulai
berubah. “Kenapa kamu tiba-tiba gak ada kabar? Apa karena ucapanku yang bilang
mau nunggu kamu jadi dokter?”
Mataku mulai
berair. Perasaan malupun mulai merayapi otakku. Aku hanya mengangguk sambil
terus menunduk. Seketika itu Dewa langsung mengambil tempat duduk di sampingku
dan mendekapku begitu hangat. Ia mengusap rambutku pelan sekali.
“Aku gak bermaksud
gitu, Han. Selama ini aku nyari kamu kemana-mana,” katanya dengan nada yang
berat. Aku hanya bisa diam sambil sesekali terisak. “Jangan pergi lagi, yah.”
Kalimat terakhir Dewa benar-benar membuatku gemetar. Perasaan yang bercampur
aduk menggebu memaksa keluar dari dalam jiwaku. Perasaan tak pantasku semua
hilang. Saat ini yang bisa ku rasa adalah aku menginginkannya.
Semua hal yang
ku lakukan, semua pembuktian yang ingin ku tunjukkan,benar-benar terbalaskan. Dia
kembali padaku, menjawab perasaan masa remaja kami. Dia, sosok semua alasan
dalam hidupku benar-benar tidak bisa ku biarkan pergi lagi. Kali ini aku pun tidak
akan lari lagi. Aku sudah menunggu lama untuk saat-saat seperti ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar