Kamis, 01 Januari 2015

alasan itu dia

Setelah menghadiri sebuah seminar dimana aku menjadi salah satu peembicara dalam acara yang digalakan para mahasiswa itu, langsung saja dengan tergesa-gesa aku mencari dimana toilet kampus yang terkenal dengan gedungnya yang luas itu. Dengan meminta bantuan beberapa mahasiswa yang tidak sengaja ku temui di luar, akhirnya aku menemukannya. Tidak tunggu lama langsung ku muntahkan saja semua isi dalam perutku. Kemudian setelah menunggu beberapa saat dan merasa lebih baik, ku telepon pak Pardi supir pribadiku untuk menjemputku segera.

“Mbak, ke rumah sakit aja yah,” kata pak Pardi yang melihatku lemas bersandar di kursi belakang. Keadaanku seperti ini memang sudah biasa ku tampik dan ku acuhkan. Tapi kali ini aku benar-benar merasa tidak sanggup. Rasa nyari dibagian perutku benar-benar tidak seperti sakit yang biasanya ku rasa. Langsung saja tanpa menunggu jawabanku pak Pardi mengarahkan mobil menuju rumah sakit terdekat.

Setelah mendapatkan ruangan, rasa nyeri diperutku semakin menjadi. Air mataku sudah tidak keluar lagi, begitupun suaraku. Aku hanya bisa terpejam sambil memegangi perutku. Masih sempat ku dengar beberapa suster melaporkan hasil pemeriksaan mereka pada dokter bahwa maagku yang kambuh. Setelah itu aku benar-benar tidak bisa mendengar apapun lagi.
….
Beberapa saat kemuadian akupun terbangung setelah menghabis beberapa jam tertidur pulas. Mataku kesana kemari mencari pak Supri tapi tidak ada. Dan ketika aku menoleh keluar jendela mataku berhenti pada sebuah memo yang ditingalkan di atas meja dekat ranjangku saat itu. langsung saja ku ambil dan ku baca.

Cepat sembuh, Hani.” Tanpa meninggalkan nama atau petunjuk apapun. Ku putar kembali ingatanku untuk menebak siapa yang menulis memo ini. Namun, tidak ada yang memanggilku Hani selama ini kecuali… Bibirku keluh dan tanganku mulai berkeringat. “Dewa,” kataku bersemangat. “Iya, Dewa.” Hanya dia yang memanggilku Hani, karena menurutnya nama Hanindia begitu rumit diucapkan.

Ku lihat pak Pardi masuk membawa laptop, handphone dan pakaian gantiku. Ia terkejut melihatku sudah duduk sambil cengengesan.

“Loh, Mbak, ada apa?”

“Pak Pardi, tadi selain suster sama dokter ada siapa lagi?”

Pak Pardi sedikit tertegun. Dengan keningnya yang berkerut ia menggeleng dan mengatakan bahwa tidak ada orang lain selain dia, dua orang suster dan seorang dokter. “Belum ada yang tahu Mbak Hanindia masuk rumah sakit,” tambahnya. Raut wajahku langsung berubah mendengar penuturan pak Pardi, supir setiaku itu. “Ada apa Mbak?” Aku hanya menggeleng dan merebahkan kembali badanku sambil menutupi seluruh tubuhku dengan selimut.
….

Demi mengusir kejenuhanku, ku buka kembali leptop kesayanganku itu dan ku lihat beberpa tulisan yang belum sempat ku selesaikan. Maklumlah, sebagai seorang penulis dateline adalah yang mengerikan dan tidak ada alasan untuk menundanya. Jadi sembari berbaring, ku selesaikan beberap paragraf yang bisa ku selesaikan. Sesaat kemudian ku lihat dua suster masuk dan membawa peralatannya. “Diperiksa dulu, mbak Hanindia,” kata salah satu dari mereka dengan ramah. Aku hanya mengangguk dan menaruh leptopku di atas meja samping ranjang.

“Suster, kira-kira kapan yah saya bisa keluar?” tanyaku penasaran mengingat cafe yang harus ku urusi. Belum sempat suster yang ku tanya itu menjawab, seseorang dengan jas putihnya memasuki ruanga dan mengambil alih tugas suster dengan cepat.

“Sore ini bisa pulang kalau pasiennya nurut buat istirahat,” katanya sembari sesekali melirikku. Mendadak hening yang ada di ruangan. Kedua suster itu pun juga hanya saling melirik satu sama lain. Ku lihat lagi lekat-lekat seseorang yang sedang memeriksa tensi darahku itu. Dan ternyata ketiaka ia membalasku dengan menatap, langsung seketika itu aku mengenalinya.

“Dewa!!!”
“Dewa! Iya kan Dewa?” tanyaku terus. Ku lihat anggukannya yang masih saja mengagumkan. Langsung ku peluk teman kecilku itu. ia pun membalasnya. Sontak hari itu menjadi hari reunian mendadak kami. Yah walaupun Dewa adalah seniorku satu tahun, namun kami selalu ada di sekolah yang sama sejak Sekolah Dasar sampai SMA. Barulah ketika ia memutuskan untuk keluar kota tidak ada lagi kontak yang tersedia. Benar bahwa aku pernah mendengarnya menjadi seorang dokter, namun aku tidak menyangka bahwa ia bertugas di kota ini.

Kami tidak bisa mengobrol lebih lama karena ia harus melanjutkan lagi pekerjaannya. Dia mengisyaratkanku untuk melepas sementara kegiatanku bersama leptopku itu dengan lirikan matanya dan telunjuknya yang megarah pada leptop dan telepon genggam di samping ranjangku. Aku hanya mengangguk dan ia pun berjalan meninggalkan ruanganku. Ku lirik pak Pardi yang cengengesan melihatku curiga. Aku hanya tersenyum geli dan kembali berbaring.
….
Dewa adalah semua alasan yang terjadi di dalam hidupku sampai saat ini. Ia Selain baik, ia juga terkenal karena kecerdasannya sewaktu sekolah dulu. Beberapa kali menjadi ketua OSIS sewaktu SMP dan SMA dan aku menjadi bagian di dalamnya. Tidak bisa ku pastikan jelas kapan dan bagaimana awalnya kami mulai dekat. Namun, dengan seringnya mengikuti organisasi yang sama sewaktu itu, kami menjadi sering bertukar pikiran dan mengembangkan ide-ide untuk  organisasi kami. Karena seringnya kami mengikuti kegiatan di waktu sekolah, beberapa dari kami sampai harus membawa buku pelajaran untuk dipelajari kembali. Dan karena Dewa merupakan kakak kelas satu tahun diatasku, aku menjadi lebih mudah untuk bertanya. Dia pun tidak keberatan menjelaskannya padaku.

Hal itu berlanjut ketika aku memasuki jenjang menengah dimana Dewa sangat membantuku banyak hal. Kami pun menjadi semakin dekat. Meskipun tidak searah, ia kadang menjemput dan mengantarku pulang. Selain itu ia juga sering mengajakku untuk melihat acara-acara yang diadakan sekolah. Sampai pada saat kami menikmati makan siang di kantin sekolah, ia menatapku lekat dan mengalihkannya lagi.

“Ada apa?” tanyaku penasaran. Ia menggeleng dan hanya tersenyum. “Ih, kenapa sih?” tanyaku semakin penasaran sambil menggoyang-goyangkan tangannya.

“Aku udah daftar di fakaultas kedokteran,” jawabnya dengan mata berbinar-binar. Aku sudah yakin bahwa itu adalah pilihan terbaiknya. Aku pun begitu senang. “Kamu harus belajar yang bener, biar bisa bareng aku nanti,” celotehnya.

Aku langsung terdiam. Apakah Dewa menginginkanku untuk terus mengikutinya, atau hanya ucapan biasa yang tidak sengaja dilontarkannya. Meskipun aku juga memiliki niat untuk menjadi seorang dokter, namun aku tidak begitu memiliki keyakinan menjalaninya. Aku hanya senyam senyum sembari melahap makan siangku. Entah mungkin karena terlalu seringnya kami bersama sehingga mendengar kalimatnya itu aku merasakan sesuatu yang berbeda. Mungkin hanya perasaanku atau mungkin juga tidak. Namun sepertnya semakin hari perasaanku semakin berkembang pula.
….
Jika mengingat kejadian itu, kadang karena aku bukanlah seorang dokter hari ini aku menjadi takut berhadapan dengannya. Hari itu entah mengapa aku seperti mendengar permintaannya yang sungguh-sungguh. Dengan terus membayangkan akan terus bersamanya, aku mati-matian mengejar ketertinggalanku dan berusaha untuk bisa lolos dan masuk di fakultas tersebut. Selain alasan tersebut, aku juga tidak ingin berada jauh dari Dewa ketika itu.  

Salah satu hal yang selalu ku ingat dan menjadi penyemangatku ketika itu adalah dihari kelulusannya dan keberhasilannya lolos menjadi salah satu mahasiswa kedokteran, ia mengajakku makan malam sebelum akhirnya harus pergi ke luar kota tempatnya melanjutkan kuliah. Masih jelas diingatanku bagaimana ia begitu bahagia. Tanganku digenggamnya sepanjang perjalan denga begitu erat. Tidak lepas senyumnya malam itu. Hah, perasaanku pun juga ikut melayang kemana-mana.

“Kamu pasti bisa,” katanya sembari mengacak-acakkan rambutku seperti anak kecil. Aku hanya tersenyum. “Aku tunggu kamu disana, yah,” tutupnya

“Doain aku,” kataku pelan. “Aku jadi gugup banget.” Ia hanya mengangguk dengan yakin. Dan sebelum pulang, aku memberikan sebuah hadiah. “Nanti aja bukanya.”

Ia melihatku sekali lagi. Dan dengan gerakan yang sangat cepat, ia mengecup rambutku. Untuk pertama kalinya bagi kami, dan itu terjadi begitu saja. Pipiku memerah dan Dewa pun terlihat sangat salah tingkah. Senyum kami tidak bisa lagi tertahankan. Ingin sekali rasanya ku nyatakan saja perasaanku, namun aku masih merasa belum pantas untuk seorang Dewa. Aku belum menjadi apapun, pikirku.
….
Suatu hari terburuk dimana aku kehilangan segalanya pun terjadi dimana beberapa tahun lalu ketika aku mengetahui kegagalanku masuk ujian perguruan tinggi. Aku menjadi sangat bingung, apa yang harus ku lakukan, dia pasti telah menungguku, pikirku dalam hati. Kami sudah saling tidak memberi kabar setelah malam itu dan aku berharap setelah pengumuman aku akan menghubunginya. Namun, semua yang ku rencanakan memecah satu-satu.

Aku semakin malu untuk menghubunginya. Dan setelah berpikir beberapa hari, akhirnya ku putuskan untuk keluar kota dan memulai sesuatu yang baru disana, tempat dimana aku tidak akan menunjukkan wajahku kepada Dewa. Setelah mendapat persetujuan orang tua, satu-satunya tempat yang terintas dibenakku ketika itu adalah Yogyakarta. Aku mengganti nomor telepon dan menonaktifkan semua akun yang berhubungan dengan Dewa. Aku benar-benar ingin memulai yang baru, tekatku.

Disinilah hidupku benar-benar menjadi berubah. Aku menemukan banyak hal disini. Apa yang aku inginkan. Dan dari semua pencarianku yag paling mengagumkan adalah aku menemukan tujuanku. Pelan-pelan ku bangun dari menjadi seorang penulis amatiran yang mengirimkan tulisan-tulisannya disemua website yang menyediakan forum bagi penulis pemula sepertiku sampai menjadi aku yang seperti saat ini. Tidak berhenti disitu, karena kegemaranku mencari tempat tongkrongan ketika kuliah dulu, akupun mewujudkannya sekarang dengan membuka sebuah café dimana semua anak-anak muda bisa menggunakannya untuk berdiskusi, mengerjakan tugas, ataupun dijadikan pilihan untuk ngedate. Dan inspirasi penulisanku pun bisa keluar jika sudah duduk di café yang susah payah ku cari modalnya itu.

Dengan semua hal yang sudah ku lakukan sampai hari ini, kesedihanku karena gagal menjadi seorang dokter sudah bisa ku obati. Rasa kecewa yang tidak ditunjukkan orang tuaku karena kejadian beberapa tahun yang lalu itu pun sepertinya sudah terbayarkan dengan pencapaian yang bisa mereka lihat dan rasakan hasilnya itu. Aku merasa lebih hidup saat ini. Menikmati pekerjaan yang benar-benar ku sukai.

Namun, pertemuanku bersama Dewa benar-benar membuatku gugup. Aku sudah menghilang begitu saja tanpa memberinya kabar, sejujurnya aku merasa bersalah.
….
Dibantu pak Pardi dan bu Ina, istrinya, semua barang-barangku pun sudah rapih. Suster pun telah datang untuk memberikan pemeriksaan yang terakhir. Namun kali ini, dia… Dewa tidak ada.

“Suster, dokter Dewa…”

“Dokter Dewa masih ada urusan mbak,” sela si suster dengan ramah. Aku hanya mengangguk lesu mendengar jawaban suster itu. Terlintas dipikiranku tentang dia. Bagaimana bisa dia tidak mengunjungiku, pikirku menyeletuk dalam hati. Dan setelah semuanya selesai, kami pun meninggalkan rumah sakit. Perasaan kesal dan berbagai pertanyaan sudah membentang sana-sini di otakku dalam perjalanan pulang.

Beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit, aku memulai aktivitas seperti biasnya. Namun kali ini aku disibukkan dengan rencana pembukaan butik yang isinya adalah hasil dari rancanganku sendiri. Mimpi yang sejak lama ku bayangkan itu masih dalam pengerjaan untuk diwujudkan. Aku mulai kesana-kemari mencari tempat, bernego harga sewa, lalu mencari bahan-bahan kain yang berkualitas. Dan setelah seharian berkeliling ditemani pak Pardi, ku putuskan untuk menulis sebentar di café sambil melihat perkembangan omsetnya.

Sambil terus memeriksa laporan keuangannya aku tidak sadar seseorang telah duduk di depanku. Ia tersenyum melihat keterkejutanku. Belum sempat berkata apapun, ia langsung menyodorkan buku perdana yang ku tulis.

“Ini asli, loh. Jadi kamu harus ngasih tanda tangan untuk penggemarmu ini,” katanya cengengesan. Aku masih terkejut, namun raut wajah Dewa yang teduh itu membuat senyumku cepat sekali mengembang. Ku ambil buku dan merogoh isi tasku untuk mencari pulpen. Sejurus kemudian ia menyodorkan sebuah pulpen yang tidak asing menurutku. “Nih,” katanya. Aku meraih pulpen itu dan melihatnya sekali lagi. Benar-benar ini mengejutkan, pikirku. Ia masih menyimpannya.

“Ini kan..” tanyaku terputus melihat anggukan Dewa. “Kamu masih simpan?” sekali lagi ia hanya mengangguk.
“Pulpen kamu udah ngobatin banyak orang, Han,” katanya. Seketika raut wajah Dewa pun mulai berubah. “Kenapa kamu tiba-tiba gak ada kabar? Apa karena ucapanku yang bilang mau nunggu kamu jadi dokter?”

Mataku mulai berair. Perasaan malupun mulai merayapi otakku. Aku hanya mengangguk sambil terus menunduk. Seketika itu Dewa langsung mengambil tempat duduk di sampingku dan mendekapku begitu hangat. Ia mengusap rambutku pelan sekali.

“Aku gak bermaksud gitu, Han. Selama ini aku nyari kamu kemana-mana,” katanya dengan nada yang berat. Aku hanya bisa diam sambil sesekali terisak. “Jangan pergi lagi, yah.” Kalimat terakhir Dewa benar-benar membuatku gemetar. Perasaan yang bercampur aduk menggebu memaksa keluar dari dalam jiwaku. Perasaan tak pantasku semua hilang. Saat ini yang bisa ku rasa adalah aku menginginkannya.

Semua hal yang ku lakukan, semua pembuktian yang ingin ku tunjukkan,benar-benar terbalaskan. Dia kembali padaku, menjawab perasaan masa remaja kami. Dia, sosok semua alasan dalam hidupku benar-benar tidak bisa ku biarkan pergi lagi. Kali ini aku pun tidak akan lari lagi. Aku sudah menunggu lama untuk saat-saat seperti ini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar